Racun Pemikiran dan Budaya: Virus LGBT
Oleh: Yuli Sarwanto (Analis FAKTA)
LGBT atau GLBT adalah akronim dari “lesbian, gay, biseksual,dan transgender”. Istilah ini digunakan semenjak tahun 1990-an dan menggantikan frasa “komunitas gay” karena istilah ini lebih mewakili kelompok-kelompok yang telah disebutkan.
Akronim ini dibuat dengan tujuan untuk menekankan keanekaragaman “budaya yang berdasarkan identitas seksualitas dan gender”. Kadang-kadang istilah LGBT digunakan untuk semua orang yang tidak heteroseksual, bukan hanya homoseksual, biseksual, atau transgender. Maka dari itu, seringkali huruf Q ditambahkan agar queer dan orang-orang yang masih mempertanyakan identitas seksual mereka juga terwakili (contoh. “LGBTQ” atau “GLBTQ”, tercatat semenjak tahun 1996.
Berdasarkan penelitian independen salah satu lembaga di kota Kediri, didapatkan data bahwa jumlah anggota gay sebanyak 800 orang. Rata-rata usia sekolah menengah keatas dan dewasa. Komunitas ini sulit untuk diidentifikasi. Berbeda dengan kaum waria yang dari sisi penampilan lebih mudah di bedakan. jumlah waria di Kediri diperkirakan mencapai 200 orang. Kelompok ini telah memiliki pengurus dan wadah organisasi. Mayoritas anggotanya memiliki pekerjaan mapan seperti pemilik salon dan tempat rias.Jumlah riil dilapangan tentu lebih banyak karena fenomena ini seperti gunung es.
X Faktor
Munculnya perilaku menyimpang dominan disebabkan oleh faktor lingkungan. Misalnya saja karena salah pergaulan. Dalam berteman, sudah selayaknya kita “memilih” teman yang memiliki perilaku baik. Ketika seseorang berteman dengan orang yang termasuk LGBT, ada kecenderungan dia akan ikut menjadi anggota LGBT disebabkan faktor pengaruh teman. Jadi, lingkungan dan kebiasaan menjadi faktor pemicu paling besar terjadinya LGBT di Indonesia. Adanya pengaruh budaya barat yang masuk ke Indonesia juga bisa menyebabkan penyimpangan perilaku ini terjadi. Keadaan ini ditambah dengan budaya kebebasan dan hak asasi yang di dengungkan oleh barat. Dari sini bisa disimpulkan bahwa memang LGBT itu berasal dari faktor eksternal.
Maraknya LGBT tidak terlepas dari khitthah (strategi) penjajahan yang dilakukan oleh negara-negara penjajah di negeri Muslim terbesar ini. Strategi ini melengkapi strategi lain, yang bertujuan untuk melemahkan ketahanan negeri Muslim terbesar ini, dengan merusak SDM-nya. Selain liberalisasi di bidang pemikiran, perilaku, politik dan ekonomi. Namun, strategi ini tidak akan berjalan, jika tidak ada kongkalikong di antara para agen penjajah, baik yang duduk di pemerintahan, NGO maupun yang lain. Bagaimana tidak, Rusia saja, yang bukan negeri Muslim, melarang LGBT.
Singapura, yang kehidupan sosialnya lebih liberal, juga melarang LGBT. Anehnya, Indonesia, yang mengakui lebih religius, berketuhanan, berkeadaban dan berperikemanusiaan, ternyata membolehkan perilaku menyimpang yang tidak dilakukan oleh hewan sekalipun. D i mana keadaban, bahkan perikemanusiaannya?
Selain itu, LGBT sebagai gerakan untuk membatasi jumlah penduduk bahkan telah diratifikasi, sebagai salah satu cara untuk menekan angka pertumbuhan penduduk yang terus bertambah mengikuti deret ukur. Sementara pertumbuhan ekonomi mengikuti deret hitung. Karena itu, gerakan ini benarbenar didukung oleh negaranegara penjajah, dengan mengatasnamakan HAM.
Data Bicara
Perilaku menyimpang kaum LGBT ini sebenarnya menimbulkan masalah serius baik bagi pelakunya maupun masyarakat. Prof Abdul Hamid Al-Qudah, seorang spesialis penyakit kelamin menular dan AIDS di Asosiasi Kedokteran Islam dunia (FIMA) dalam bukunya: Kaum Luth Masa Kini, mengungkapkan bahaya yang ditimbulkan dari LGBT bagi kesehatan.
Pada halaman 65-71, ia menyebut, 78 persen pelaku homoseksual terjangkit penyakit kelamin menular. Kemudian dari penelitian yang dilakukan Cancer Research di Inggris, mendapatkan sebuah hasil bahwa homoseksual lebih rentan terkena kanker. Penelitian yang dilakukan selama tahun 2001, 2003, dan 2005, menghasilkan kesimpulan bahwa gay dapat dua kali lebih tinggi terkena risiko kanker apabila dibandingkan pria heteroseksual (normal). Selain kanker yakni kanker anus, dan mulut, para pelaku LGBT rentan terhadap penyakit meningitis, dan HIV/AIDS. Data dari CDC (Centers for Disease Control and Prevention) AS pada tahun 2010 menunjukkan dari 50 ribu infeksi HIV baru, dua pertiganya adalah gay-MSM (male sex male/laki-laki berhubungan sek dengan laki).
Data pada tahun 2010 ini, jika dibandingkan dengan data tahun 2008 menunjukkan peningkatan 20 persen. Sementara itu, wanita transgender risiko terinfeksi HIV 34 kali lebih tinggi dibanding wanita biasa. (Republika, 12/02/2016). Lebih lanjut data CDC, pada tahun 2013 di Amerika Serikat, dari screening gay (pemeriksaan terhadap kaum gay), yang berusia 13 tahun ke atas, 81 persen di antaranya telah terinfeksi HIV dan 55 persen di antaranya terdiagnosis AIDS.
di Indonesia, penularan HIV di kalangan LGBT di Indonesia juga meningkat secara signifikan, dari 6 persen pada tahun 2008, naik menjadi 8 persen di 2010, kemudian menjadi 12 persen di tahun 2014. Sedang jumlah penderita HIV di kalangan PSK (pekerja seks komersial) cenderung stabil antara 8 persen sampai dengan 9 persen. (Republika, 12/02/2016).
Secara sosial, penyimpangan orientasi seksual ini merupakan ancaman bagi eksistensi sebuah keluarga. Perkawinan yang awalnya merupakan hal yang sakral dan legal dengan maksud untuk melestarikan keturunan, berubah sekadar pemuas nafsu birahi. Akibatnya secara demografi akan menutup pertumbuhan umat manusia. Lebih dari itu perilaku mereka merusak masyarakat. Sebuah studi menyebut, seorang gay punya pasangan antara 20-106 orang per tahunnya.
Adapun pasangan zina (pasangan heteroseksual tetapi di luar pernikahan) tidak lebih dari delapan orang seumur hidupnya. Bahkan ditemukan bahwa sekitar 43 persen kaum gay tersebut selama hidupnya melakukan homoseksual dengan 500 orang bahkan lebih. Sekitar 79 persen dari mereka mengatakan bahwa pasangan sejenisnya itu merupakan orang yang tidak dikenalinya sama sekali. Ini adalah hal yang sangat mengerikan bagi masyarakat. Tak hanya itu, perilaku LGBT ini terbukti menimbulkan tindakan kriminal berikutnya.
Beberapa di antaranya muncul sebagai psikopat yang dengan entengnya membunuh dan memutilasi orang lain. Ingat kasus Ryan (35) yang menghabisi 11 nyawa manusia di Jombang, Jawa Timur. Kasus terbaru mutilasi di Kediri diduga dilakukan pasangan gay. Kasus sejenis muncul akhir-akhir ini oleh para homoseks ini.
Bertahan
Data menunjukkan, LGBT tidak berdiri sendiri. Mereka adalah gerakan global dengan dukungan dana yang besar. Lihat saja, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menghapus LGBT dari daftar penyakit mental (Diagnosis and Statistical Manual of Mental Disorders). Mereka menyebut, LGBT adalah perilaku normal bukan kelainan mental.
Bahkan sebagai wujud pengakuan terhadap eksistensi kaum LGBT, kini telah ditetapkan hari Gay Sedunia dan ada 14 negara yang membolehkan pernikahan sejenis, dan hanya tiga negara yang menganggap LGBT sebagai kriminal. (Republika, 12/2/2016).
dengan berbagai cara mereka akan mempertahankan eksistensinya. Menurut Maneger Nasution yang pernah menjabat Komisioner Komnas HAM, mereka menjadikan isu HAM, demokrasi, liberalisme, permisivisme, agnotisme, sebagai kemasan untuk legitimasi LGBT. Makanya, mereka akan berusaha mendukung rezim yang sekuler dengan segenap kekuatan mereka, termasuk dukungan asing.
Mereka akan berusaha agar tidak dikriminalisasi dengan cara mempertahankan konstruksi hukum yang ada. Seperti sistem hukum di Indonesia sekarang, tidak memberikan sanksi apapun bagi kalangan bejat ini. Secara filosofis, mereka pun akan menggunakan HAM sebagai senjata bagi mereka untuk berlindung dengan dalih LGBT adalah fitrah, bukan penyimpangan.
Perspektif
Secara teknis, jangankan sebagai gerakan, gejala munculnya LGBT pun harus dicegah sejak dini. Karena, LGBT ini merupakan bentuk penyimpangan, bukan fitrah. Dimulai dari pendidikan dan pembiasaan anak oleh orang tuanya. Misalnya, Nabi SAW mengajarkan, anak-anak, meski masih kecil, tidak boleh memakai sandal atau pakaian laki-laki bagi perempuan, atau sandal perempuan bagi laki-laki.
Tidak hanya itu, Nabi SAW menitahkan, agar sejak usia tujuh tahun, mereka dipisahkan tempat tidurnya. Laki dengan perempuan dipisahkan. Laki dengan laki pun harus dipisahkan ranjangnya. Begitu juga perempuan dengan perempuan. Ini semua bagian dari pendidikan dan pembiasaan anak sejak usia dini. Jika sejak dini telah dibiasakan dan dididik sedemikian rupa, maka anak akan tumbuh menjadi pribadi yang sehat. Tidak mengalami penyimpangan perilaku.[]