Oleh: Ahmad Khozinudin, SH | Ketua Koalisi Advokat Penjaga Islam
Kembali, MK mengeluarkan putusan kontroversi. Guru besar IPB Euis Sunarti harus mengalami kekecewaan atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak gugatan soal lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT). Mahkamah menyatakan dirinya tidak memiliki kewenangan untuk merumuskan tindak pidana baru sebab kewenangan tersebut berada di tangan presiden dan DPR. MK menyebut tidak boleh masuk ke dalam wilayah politik hukum pidana.
Tentu saja ini bukan kekecewaan seorang Euis Sunarti saja, tetapi ini merupakan kekecewaan umat Islam yang selama ini terancam kehidupannya akibat merebak dan makin mengganasnya aktivitas LGBT. Kelakuan kaum nabi Luth ini, telah memproduksi berbagai bala’ dan kerusakan yang akut, juga merupakan ancaman nyata bagi eksistensi dan keberlangsungan sebuah generasi.
Tidak sekali ini saja, sebelumnya MK juga menuai kritik keras karena secara implisit telah memperluas tafsir agama dengan membatalkan ketentuan pasal 61 ayat 1 dan pasal 64 ayat 1 UU Administrasi Kependudukan. Dengan bermodal putusan MK ini para penganut aliran kepercayaan merasa memiliki legalitas untuk eksis dan bisa mengaktualisasikan identitas keyakinannya pada kolom Kartu Tanda Penduduk (KTP).
Namun dua putusan ini, meski memiliki ruh sama yakni Sekulerisme, tetapi memiliki landas konstitusional yang berbeda dengan moda penalaran yang kontradiktif. Pada putusan soal LGBT, MK menolak masuk pada ruang adopsi norma dan menyerahkan kewenangan politik hukum pada kewenangan eksekutif dan legislatif. Namun, pada kasus aliran kepercayaan yang dituliskan pada kolom KTP, MK telah menyelinap, menelisik dan masuk dalam ranah membuat dan merumuskan norma baru -yang sebelumnya tidak diakui oleh konstitusi sebagai agama, meskipun konstitusi telah memuat Pranata sebuah keyakinan untuk diyakini dan dipercayai- dengan melakukan pengaturan norma baru berdalih pada argumen tafsir konstitusi.
MK telah mereduksi makna “agama” dengan “aliran kepercayaan” pada satu bingkai “kesetaraan hak” dalam ruang administrasi kependudukan, sehingga aturan dalam UU administrasi kependudukan yang memuat kolom agama dinyatakan batal demi hukum dan karenanya tidak memiliki kekuatan mengikat secara hukum.
Jika MK konsisten dengan nalar Konsideran dan “cara istimbath” untuk mengadopsi tafsir sejalan atau tidaknya suatu norma pasal dengan konstitusi pada berbagai kasus yang diajukan ke MK, maka MK dapat melepaskan dirinya dari kewenangan absolut legislatif yang ada pada Pemerintah dan DPR, dan dengan kewenangan legislatif terbatas MK dapat membuat terobosan hukum (rechtvinding) untuk membuat tafsir penalaran logika yang sampai pada satu kesimpulan tafsir LBGT termasuk yang dilarang dan diberi sanksi ancaman pidana sebagaimana tafsir kejahatan perzinahan yang diatur dalam pasal 284, 285 dan 292 KUHP. Ini jika MK hendak konsisten dengan logika dan Nalar tafsir Konstitusi sebagaimana diadopsi dalam mengadili kasus kolom agama para penganut aliran kepercayaan.
Sebaliknya, jika MK konsisten dengan nalar tafsir yang menjadi dasar “istimbath” dalam kasus LGBT, seharusnya tidak ada putusan terkait eksistensi para penganut aliran kepercayaan sebagaimana MK membatalkan ketentuan pasal 61 ayat 1 dan pasal 64 ayat 1 UU Administrasi Kependudukan.
MK dapat dengan sederhana dan ringan menolak perkara pengajuan uji materi yang diajukan para penganut aliran kepercayaan dengan menyatakan MK bukanlah lembaga politik, bukan pula lembaga legislatif sehingga tidak memiliki kewenangan untuk menafsirkan kepercayaan tertentu sebagai sebuah agama dan diakui eksistensinya dalam administrasi kependudukan.
MK juga dapat menegaskan UU pasal 61 ayat 1 dan pasal 64 ayat 1 UU Administrasi Kependudukan adalah lex spesialis, karena asalnya setiap warga negara menganut suatu agama tertentu yang telah diakui oleh negara. Bagi para penganut kepercayaan, meskipun hak konstitusinya diakui UUD, tetapi administrasinya tidak dapat disejajarkan dengan para penganut agama tertentu yang diakui negara. Secara administrasi, Pemerintah dapat mengatur dalam ketentuan lain, yang dapat mengakomodirnya dan menegaskan ketentuan pasal 61 ayat 1 dan pasal 64 ayat 1 UU Administrasi Kependudukan adalah sesuai konstitusi oleh karena ya permohonan para pemohon harus ditolak secara keseluruhan.
Praktisnya MK dapat menolak perkara para penganut aliran kepercayaan dengan menyatakan MK tidak memiliki wewenang politik dan mengatur norma baru, dan sepenuhnya menyerahkan teknis administrasi kependudukan kepada pihak Pemerintah. MK hanya memiliki wewenang menafsirkan norma UU dan bukannya membuat norma baru untuk membatalkan pengaturan administrasi yang telah diadopsi Pemerintah.
Dari 2 (dua) perkara ini, setidaknya kita dapat ketahui bahwa:
Pertama, MK tidak konsisten dalam pengadopsian kaidah tafsir konstitusi sehingga keadaan ini sangat rawan digunakan sesuai kepentingan yang menggelayuti dan mengontrol Mahkamah. MK dapat menjadi pisau konstitusi dengan bilah bermata ganda, dapat menegakkan sekaligus meruntuhkan konstitusi dengan dalih dan menyandarkan diri pada garis dan asas konstitusi.
Kedua, putusan MK justru meneguhkan kenyataan bahwa MK dan sistem pemerintahan di negeri ini berdiri tegak diatas asas Sekulerisme. Sekulerisme telah meminggirkan peran agama, meskipun nilai-nilai agama diyakini masyarakatnya akan memberikan kemaslahatan. Pada kasus LGBT, MK telah nyata meminggirkan syariat Islam yang Agung, yang telah mengharamkan aktivitas LGBT dengan berdalih MK tidak memiliki kewenangan politik.
Ketiga, sesungguhnya putusan MK ini membuktikan bahwa sistem sekuler di negeri ini memang tidak kompatibel dan tidak didesain untuk menegakkan hukum Islam, menegakkan perintah dan larangan Allah. Bahkan sistem sekuler yang diadopsi di negeri ini justru nyata-nyata menentang hukum Allah SWT. Allah SWT telah melaknat kaum Nabi Luth, penguasa dan sistem sekuler di negeri ini justru memberikan hak untuk eksis dan mengaktualisasikan diri serta menolak memberikan sanksi pidana terhadapnya. Padahal, dalam hukum Islam sanksi pidana untuk pelaku LGBT sudah jelas, Rajam.
Keempat, keadaan ini tidak bisa diperbaiki secara parsial dan gradual. Perlu perubahan revolusioner yang bersifat menyeluruh dan terintegrasi, dengan membuat perubahan nyata secara kontras terhadap rezim dan sistemnya. Sudah saatnya, umat Islam bersatu dalam agenda besar perubahan umat menuju Islam kaffah, dengan berjuang menegakkan daulah Khilafah.
Demikianlah, MK telah membuat satu keputusan final. Tidak bisa diganggu. Tidak bisa digugat. Betapapun, putusan MK ini dalam tinjauan syariat Islam adalah kemaksiatan yang nyata. Kenyataan ini seharusnya memberi pemahaman kepada umat Islam bahwa untuk menegakkan Islam memang tidak mungkin merintis dan menempuhnya melalui jalur Demokrasi. Demokrasi telah menuhankan suara rakyat, demokrasi telah meminggirkan peran agama, akidah sistem demokrasi adalah Sekulerisme. Sementara, Sekulerisme tegas diharamkan oleh syariat Islam. []