Putusan MA Cabut SKB 3 Menteri Soal Seragam Sekolah, Analis: Sesuai Aspirasi Umat Islam

Mediaumat.news – Putusan Mahkamah Agung (MA) yang memerintahkan agar mencabut SKB 3 Menteri soal seragam sekolah dinilai Analis Senior PKAD Fajar Kurniawan sesuai dengan aspirasi umat Islam.
“Saya kira putusan yang dibuat oleh MA ini sejalan dengan aspirasi yang ada di benak umat termasuk tokoh-tokoh umat Islam. Karena kemarin yang mengajukan proses uji materi atas SKB 3 menteri itu kan dari Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumatera, Barat, yang saya kira mewakili mayoritas aspirasi umat Islam,” tuturnya kepada Mediaumat.news, Ahad (9/5/2021).
Fajar berharap dengan adanya putusan MA tersebut, maka tidak boleh ada lagi upaya-upaya untuk mempermasalahkan penggunaan pakaian seragam yang sesuai dengan keyakinan agama dari masing-masing siswa, termasuk siswa Muslim.
“Dan dengan adanya putusan MA ini harusnya kementerian terkait, yaitu Kemendagri, Kemendikbud – sekarang menjadi Kemendikbudristek dan Kemenag, harusnya segera menjalankan amar putusan tersebut, yaitu mencabut SKB 3 menteri berkenaan dengan seragam sekolah untuk sekolah dasar dan sekolah menengah negeri,” ujarnya.
Menurutnya, ketiga kementerian itu juga harus menjamin kebebasan masing-masing siswa untuk berbusana sesuai dengan keyakinan agamanya masing-masing, khususnya di tataran pelaksanaan di sekolah. “Jangan kemudian, SKB sudah dicabut, tapi pemda atau dinas instansi di daerah masih belum paham akan hal itu dan akhirnya memaksakan aturan yang sudah tidak berlaku. Sehingga kasus sebagaimana yang terjadi di Padang beberapa waktu lalu tak boleh terjadi lagi,” ungkapnya.
Terkait SKB yang melanggar konstitusi, Fajar menyarankan agar setiap proses kebijakan publik seharusnya dirumuskan terlebih dahulu dengan mengkaji seluruh peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara ini. “Terlebih untuk kebijakan yang berkenaan dengan keyakinan seseorang, maka harus dikaji pula bagaimana hukum agama berkenaan dengan hal tersebut,” ujarnya.
“Atau jika kebijakan itu berkenaan dengan hal teknis, misalnya dalam hal penanganan pandemi Covid-19 atau dalam hal kebijakan pemulihan ekonomi nasional, hendaknya menggunakan basis riset atau sains sebagai basis perumusan kebijakannya,” tambahnya.
Untuk itu, menurutnya, tidak boleh proses perumusan kebijakan publik itu dilakukan hanya karena adanya tekanan publik (public pressure). “Terlebih tekanan publik itu datang dari para buzzer yang jelas-jelas sejak awal sudah mempunyai framing tertentu berkenaan dengan pelaksanaan suatu ajaran agama tertentu, dalam hal ini agama Islam,” tandasnya.
Ia melihat dalam kasus seragam sekolah kemarin, seberapa pun tekanan dari opini publik, khususnya buzzer, seharusnya tidak diperhatikan atau tidak menjadi pertimbangan, tapi satu-satunya yang menjadi pertimbangan harusnya adalah bagaimana hukum Islam memandang masalah itu.
“Sehingga munculnya kebijakan yang kontroversial tersebut dan bahkan melanggar konstitusi menunjukkan bahwa penyelenggara negara ini tidak memahami hierarki pembentukan peraturan perundang-undangan. Dan tidak paham bagaimana sebuah kebijakan publik seharusnya dirumuskan,” pungkasnya. [] Achmad Mu’it