Putin Kembali Melayani Amerika, Dan Menjamu Pemimpin Korea Utara

Sementara media dunia menggambarkan Rusia tengah bersaing dengan Amerika untuk menjamu Kim Jong-un, namun kenyataannya adalah bahwa Presiden Rusia Vladimir Putin hanya menawarkan kembali jasanya kepada Amerika untuk tujuan kebijakan luar negeri AS.

Media Korea Utara melaporkan pada hari Jum’at (26/4) bahwa pemimpin Korea Utara Kim Jong-un telah mengatakan kepada Presiden Rusia Vladimir Putin bahwa perdamaian dan keamanan di Semenanjung Korea tergantung pada Amerika, dan memperingatkan bahwa permusuhan dapat dengan mudah menggelora kembali.

Pernyataan Kim selama pembicaraan dengan Putin pada hari Kamis (25/4) tampaknya bertujuan untuk mendorong Washington agar lebih fleksibel pada tuntutan Korea Utara guna meringankan sanksi internasional.

Presiden AS Donald Trump, yang mengakhiri pertemuan puncak kedua dengan Kim pada Februari tanpa mencapai kesepakatan dengan Korea Utara untuk menyerahkan senjata nuklirnya, tampak khawatir, dan mengatakan bahwa telah banyak kemajuan yang dibuat menuju kesepakatan, serta menyambut dukungan Putin.

Trump menambahkan: “Saya piker, kami baik-baik saja dengan Korea Utara”. Bahkan Trump berkata kepada para wartawan di Gedung Putih: “Sungguh kemajuan besar telah dibuat”. “Saya menghargai pernyataan Presiden Putin kemarin. Dia ingin melihat itu terjadi juga. Saya pikir ada banyak pendorong untuk mencapai kesepakatan dengan Korea Utara”.

Kebijakan ideologis di Rusia telah berakhir setelah runtuhnya Uni Soviet. Setelah bertahun-tahun mengalami anarki, negara Rusia direbut dari lembaga keamanan militer, di mana ribuan mantan perwira militer dan mantan perwira intelijen menduduki posisi-posisi penting di negara tersebut, hingga Rusia memiliki istilah tidak resmi “Silovik” (secara harfiah “orang-orang yang berkuasa”) bagi para politisi yang berlatar belakang militer atau pasukan keamanan, termasuk Vladimir Putin sendiri, adalah mantan perwira menengah intelijen Soviet.

Tidak ada negara manapun yang dapat berhasil tanpa para politisi yang visioner. Latar belakang militer atau keamanan atau intelijen tidak memberikan pemikiran politik pada individu. Dengan demikian, sangat jelas bahwa kemudahan yang dirasakan Amerika dari Rusia untuk melayani agendanya, terutama di Suriah, adalah karena kurangnya pemikiran politik yang sehat dalam kepemimpinan Rusia.

Umat Islam harus belajar dari kegagalan Rusia. Pemikiran militer diperlukan bagi umat Islam untuk membangun pasukan kita, dan membebaskan negara kita dari pendudukan kaum kafir asing. Akan tetapi pemikiran politik lebih penting, di mana negara tidak kehilangan di meja perundingan apa yang dimenangkan di medan perang (hizb-ut-tahrir.info, 3/5/2019).

Share artikel ini: