Pulau Rempang Bukan Tanah Adat, Benarkah?

Mediaumat.id – Ketua LBH Pelita Umat Chandra Purna Irawan mengoreksi pernyataan Pakar Hukum Pertanahan Tjahjo Arianto yang menyebut Pulau Rempang adalah hutan yang digarap oleh masyarakat penggarap dan bukan tanah adat.

“Koreksi terhadap pendapat Tjahjo Arianto terkait tanah Melayu Rempang,” ujarnya dalam rilis legal opinion (pandangan hukum) yang diterima Mediaumat.id, Ahad (24/9/2023).

Chandra mengatakan, tanah adat adalah tanah yang digarap secara turun menurun dan tinggal di situ secara turun menurun. Dalam hal ini, suku Melayu telah menempati Pulau Rempang sejak ratusan tahun yang lalu secara genealogis dan teritorial.

Hal ini, kata Chandra, merujuk pada literatur Raja Haji Ahmad dan Raja Ali Haji yakni Tuhfat al-Nafis, Furu’ al-Ma’mur, yakni Undang-Undang Qanun yang dipakai Kerajaan Riau dan negeri taklukannya, Lampiran dalam Perda Kota Batam No. 4 Tahun 2009 Tentang Hari Jadi Kota Batam dan lain masih banyak lagi.

Chandra menyebut, Peraturan Perundang-undangan tentang Hutan baru ada setelah Republik Indonesia berdiri, jadi secara geneologis penduduk yang menempati Pulau Rempang lebih berhak atas lahan yang ditempatinya.

Chandra menilai, konflik agraria terjadi disebabkan karena adanya legal pluralisme antara pemerintah dan masyarakat. Legal pluralisme merupakan situasi ketika dua atau lebih sistem hukum berinteraksi dalam satu kehidupan sosial.

Sedangkan, lanjut Chandra, di Indonesia hukum negara dianggap memiliki posisi yang lebih tinggi dalam pengelolaan sumber daya alam dibandingkan hukum adat. Seringkali negara mengambil kebijakan sepihak dalam pengelolaan sumber daya alam tanpa melibatkan masyarakat lokal yang menggantungkan hidup pada sumber daya alam tersebut.

Chandra membeberkan, merujuk Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012, maka hutan yang berada di wilayah adat bukan lagi hutan milik negara dan pemerintah. Masyarakat adat memiliki hak penuh atas tanah, wilayah dan sumber daya alam, termasuk atas hutan adat.

Pengakuan terhadap hak-hak ini, jelas Chandra, merupakan bagian dari pemenuhan hak asasi yang melekat pada masyarakat adat dan dijamin oleh UUD 1945 dan Undang-Undang Agraria No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.

Terakhir Chandra melihat, secara geopolitik, letak Batam sangat strategis berada di Selat Malaka pintu gerbang orang-orang asing masuk ke wilayah Indonesia, dekat dengan Singapura dan dekat dengan Laut Natuna (Laut Cina Selatan) yang saat ini terjadi konflik antara Cina, Amerika dan berbagai negara di kawasan tersebut. Maka semestinya pulau yang berada di garis terdepan tersebut diperkuat, bukan sebaliknya diberikan kepada investor asing.

“Jika tidak diperkuat, NKRI harga mati hanya sebatas slogan yang tunduk kepada kepentingan investor,” pungkas Chandra.[] Agung Sumartono

Share artikel ini: