PSN Termasuk IKN Tidak Serius Tangani Konflik Lahan

Mediaumat.info – Proyek Strategis Nasional (PSN) termasuk Ibu Kota Negara (IKN) di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, dinilai tidak serius dalam menangani konflik lahan dan sosial.

“Hampir sejak dari awal proyek dan hampir semua PSN, hampir tidak serius dalam menangani konflik ini (lahan dan sosial), apalagi ini IKN,” ujar Direktur Indonesia Justice Monitor (IJM) Agung Wisnuwardana dalam rubrik Dialogika: Masyarakat Diusir, Asing Diundang ke IKN; Rakyat vs Ologarki? di kanal YouTube Peradaban Islam ID, Sabtu (16/3/2024).

Terkait masalah itu, ia pun memberikan beberapa catatan kritisnya. Pertama, seharusnya dalam ilmu pengembangan masyarakat itu ada yang disebut pemetaan sosial, namun belum dijalankan oleh pemerintah baik aspek antropologi maupun aspek sosiologi terutama yang sangat penting adalah bagaimana keberlanjutan mata pencaharian rakyat setempat.

“Dan sebenarnya dalam ilmu sosial hal ini adalah hal biasa, harusnya dilakukan karena dalam konteks ilmu sosial keberlanjutan mata pencaharian itu sangat penting dalam berbagai proyek PSN termasuk IKN, dan jika tidak dilakukan dengan serius, ini akan menjadi persoalan luar biasa,” bebernya.

Kedua, tidak terpenuhinya hak masyarakat. Hak dimaksud adalah hak untuk membangun kembali, terlebih lagi tempat tinggal.

“Nah dalam hal ini, biasanya pemerintah mendesak kehendaknya itu, pertama dilobi dulu dengan harga pemerintah ganti rugi walaupun ada yang ilegal tetap diganti rugi dengan angka yang kecil yang saya sebutkan tadi 100.000/m²,” ungkapnya.

Ketika terjadi konflik, tuturnya, pemerintah melakukan tindakan yang represif, yakni seperti yang dilakukan saat ini seperti psywar (perang psikologis), kepala desanya ditangkap dimasukkan ke penjara, atau ada masyarakat yang marah dimasukkan penjara.

Menurut Agung, ada juga dengan cara sederhana yang dianggap legal, seperti masyarakat yang tidak ada sertifikat karena tanahnya turun temurun dari nenek moyang dan awalnya kawasan hutan, maka akan dibuktikan dengan sertifikat.

“Sehingga hari ini, saudara-saudara kita misalnya, di bumi harapan di wilayah inti IKN yang segera dibangun itu ternyata tidak ada yang punya sertifikat, inilah ruang gebuk yang dimainkan pemerintah dengan mendesak kalau tidak mau diganti rugi selesaikan secara hukum, dan rata-rata pasti kalah,” ungkapnya.

Padahal, kata Agung, dalam konteks tinggal di situ bertahun-tahun atau puluhan tahun turun-temurun dari nenek moyang, pasti tidak punya sertifikat.

“Logikanya kan harusnya negara itu memberikan jaminan pada rakyatnya, memberikan jaminan pada rakyatnya terhadap hak-hak tanah mereka, diberikan sertifikat fungsional gitu,” keluhnya.

Hari ini, ungkapnya, akhirnya masyarakat menuntut untuk diberikan ganti rugi, walaupun di lapangan kalau dibuatkan sertifikat lewat calo sudah 2-3 juta/m².

“Jadi kalau masyarakat itu ketika mendapatkan ganti rugi 100.000/m² ya enggak masuk akal,” tegasnya.

Ketiga, ada persoalan sistemik, misalnya dari Undang-Undang IKN yang sudah berubah-ubah, pada UU No. 21 tahun 2023, disebutkan memang dalam hal pengadaan tanah, itu perolehan tanah itu diberikan kewenangannya kepada badan Otorita IKN (OIKN).

Namun, ungkap Agung, di dalam UU Cipta Kerja yang kemudian diganti dengan Perpu Cipta Kerja, itu dikatakan bahwa dalam hak pengelolaan itu dalam UU Cipta Kerja atau Perpu Cipta Kerja sama saja isinya.

“Di pasal 129 itu ada hak pengelolaan. Apa itu hak pengelolaan? Hak pengelolaan itu adalah hak menghidupkan kembali apa yang disebut dengan domein verklaring. Apa konteksnya? Lahan-lahan yang tidak ada semacam legal formalnya itu berarti menjadi hak negara,” bebernya.

Domein verklaring ini, tuturnya, seperti di zaman kolonial Belanda, semua tanah yang tidak ada legalitasnya itu berarti menjadi hak dan milik negara.

“Nah makanya berati warga yang ada di Pemaluan itu sekitar 100 kartu keluarga (KK) itu tidak memiliki sertifikat, karena tidak memiliki sertifikat, tidak memiliki semacam surat yang legal maka tanah-tanah mereka menjadi hak pengelolaan OIKN,” pungkasnya. [] Setiyawan Dwi

Share artikel ini: