Pseudo Democracy And New Hope

Oleh: Muh. Nur Rakhmad, SH. | Praktisi Hukum

Negara-negara Adidaya ingin agar pengaruhnya menyebar. Begitu juga dengan Amerika Serikat, Prancis maupun Inggris misalnya, tidak mau meninggalkan wilayah yang mampu dipengaruhinya dan terus menanamkan investasi penetrasi nilai berupa cara berpikir ala Negara-negara tersebut terhadap Negara targetnya. Contohnya menanamkan demokrasi.

Mempercayai gagasan demokrasi bagi sebagian besar masyarakat menunjukkan adanya fenomena ketidaktahuan terhadap substansi mendasar ide demokrasi itu sendiri yang mengagungkan kedaulatan akal manusia dalam membuat aturan hidup – lebih tinggi di atas risalah wahyu yang diturunkan sang Pencipta. Demokrasi yang berdampingan erat dengan ide sekulerisme ini – selama satu abad terakhir justru gagal dalam menjawab kebutuhan akan perubahan hakiki bagi dunia saat ini yang terus dilanda multi krisis.

Demokrasi telah berulangkali dipropagandakan Barat ke seluruh dunia, realitasnya gagasan ini gagal dalam mengatasi krisis kemanusiaan dan peradaban yang melanda dunia. Ide kebebasan dalam demokrasi yang sangat individualistik telah membutakan banyak pihak melihat penderitaan kaum lemah yang berada di sekitar mereka. Jaminan keadilan dan kesejahteraan dari sistem Demokrasi hanyalah mitos belaka, nihil kita jumpai dalam praktek kehidupan bernegara. Hal ini karena perundang-undangan yang dihasilkan oleh sistem demokrasi justru acapkali ditunggangi oleh kepentingan durjana para Kapitalis sehingga hanya menguntungkan elit dan memiskinkan rakyat banyak.

Dan dunia telah menyaksikan keberanian luar biasa sekaligus independensi yang besar dari pergerakan anti-demokrasi di negeri-negeri muslim termasuk Indonesia. Aktivis-aktivis muslim lantang menyuarakan demokrasi sebagai alat penjajahan Barat ke negeri-negeri Muslim termasuk Indonesia. Mereka menolak untuk terjebak pada janji kosong demokrasi soal keadilan dan kemanusiaan dan mereka juga menistakan program-program demokratisasi yang hakikatnya membawa Negara target pada perpecahan dan kehancuran. Di Indonesia, gelar negara demokrasi terbesar keempat di dunia dan model demokrasi bagi negeri Muslim, ternyata tidak mampu mengantarkan Indonesia terbebas dari belenggu kemiskinan, ketertinggalan serta penjajahan ekonomi.

Dalam negara yang menganut demokrasi, kebijakan liberal dipraktikkan. Di Indonesia misalkan, kebijakan menaikkan harga BBM tidak lain untuk menyukseskan liberalisasi sektor hilir (sektor niaga dan distribusi) setelah liberalisasi sektor hulu (eksplorasi dan eksploitasi) sempurna dilakukan. Liberalisasi migas hakikatnya adalah memberikan kewenangan yang lebih besar kepada swasta (asing) seraya mengurangi peran negara. Kebijakan ini jelas akan sangat merugikan dan menyengsarakan rakyat. Padahal rakyatlah pemilik sejati sumberdaya alam itu. Yang lebih menyakitkan, liberalisasi dilakukan sekadar untuk memenuhi tuntutan pihak asing (IMF, Bank Dunia, ADB, USAID, dll). Hanya demi menyenangkan pihak asing. Ini bentuk pengabaian keinginan mayoritas rakyatnya. Jika demikian, kebijakan menaikkan harga BBM itu pantas disebut sebagai bentuk pengkhianatan terhadap rakyat. Andai saja Pemerintah bersikap amanah dan mau kerja keras, niscaya kisruh BBM tidak akan terjadi. Jika Pemerintah yang katanya mendapat mandat rakyat mau mendengarkan rakyat, niscaya juga tidak akan berpikir menaikkan harga BBM yang akan menyusahkan rakyat.

Mantra yang sering terdengar adalah Demokrasi adalah satu-satunya jalan untuk melanggengkan dan mewujudkan tujuan serta kesejahteraan rakyat serta Utopia diwujudkan Islam secara total yang diwakili eksekutif,legislatif dan yudikatif. Padahal itu hanyalah ilusi yang tidak akan pernah terwujud. Alih-alih mensejahterakan para eksekutif yang menjadi pilot dalam negara demokrasi  lebih mengedepankan penjualan aset penting negara dengan jor-joran pembangunan infra struktur yang tentunya bukan milik negara lagi yang telah tergadaikan ke swasta yang di baliknya terdapat negara Kapital yang mengendalikan, para legislator yang lebih doyan reses dan plesiran setelah sukses mensahkan peraturan dan Undang-Undang negara pesanan para kapital dan peran Yudikatif yang lebih dominan mengarah menjadi alat pembungkam kritik yang sangat mustahil menegakkan keadilan.

Lalu, masihkah umat mempercayai demokrasi sebagai satu-satunya jalan mencapai keadilan? Tidak, hari ini mereka mencari solusi paripurna. Tren terkini menunjukkan, mereka memilih jalan Islam. Ya, sistem Illahi ini dapat mengantarkan kita pada keadilan hakiki yang mampu mengantarkan Indonesia dan seluruh dunia Muslim pada kemuliaan dan kemerdekaan hakiki. Dan ini hanya bisa dilakukan dengan ideologi dan sistem Islam, bukan dengan jalan demokrasi – sistem sekuler buatan manusia.[]

Share artikel ini: