Mediaumat.info – Rencana pembangunan Surabaya Waterfront Land (SWL) di Pesisir Timur Surabaya yang memantik protes berbagai kalangan masyarakat, menunjukkan bahwa rakyat selama ini dijajah oleh demokrasi itu sendiri.
“Berarti selama ini kan kita ini dijajah oleh demokrasi sendiri,” ujar Pengamat Kebijakan Publik Hanif Kristianto dalam Kabar Petang: Ngeri! Proyek Surabaya Waterfront Land Bakal Mengancam Kehidupan Nelayan Dan Warga Sekitar Pesisir? di kanal YouTube Khilafah News, Rabu (30/10/2024).
Sebagaimana diberitakan, proyek yang akan mereklamasi laut dan membuat pulau-pulau buatan sekaligus merupakan proyek strategis nasional (PSN) pemerintah ini, mendapatkan penolakan dari masyarakat di Surabaya terutama warga pesisir dan nelayan.
Pasalnya, pembangunan yang dikategorikan sebagai PSN ini ditengarai bakal mengancam ekosistem laut dan pesisir yang bakal berujung buruk bagi nelayan dan ruang hidupnya.
Betapa ratusan warga dan aktivis lingkungan di dua kecamatan Surabaya yakni Sukolilo dan Bulak, misalnya, melakukan aksi penolakan terhadap proyek ini, pada Selasa (3/9/2024).
Bahkan gelombang aksi protes menolak reklamasi juga dilakukan para nelayan dengan membentangkan spanduk bernada penolakan keras reklamasi, di tengah Pantai Timur Surabaya (Pamurbaya), Rabu (30/10) siang.
“Ini berarti kan menunjukkan bahwa proyek ini sebetulnya belum mendapatkan restu dari rakyat,” sebut Hanif. Dengan kata lain, atas nama rakyat pula, penguasa justru melakukan penindasan terhadap rakyatnya.
Tak ayal, ia pun menyebut demokrasi adalah sistem paling jahat yang pernah ada. “Demokrasi sekali lagi adalah sistem yang paling jahat yang saat ini ada,” tandasnya, yang berarti bisa dipastikan proyek ini bukan untuk kepentingan warga Surabaya.
Sedikit mengulas, konflik serupa juga kerap terjadi sebelumnya. Tengoklah konflik proyek Rempang Eco-City yang terjadi di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, yang berujung pada kerusuhan antara aparat penegak hukum dan masyarakat setempat pada tahun lalu.
Begitu juga konflik yang terjadi antara warga Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, dengan pihak aparat kepolisian. Konflik ini berawal dari rencana pembangunan Bendungan Bener yang membutuhkan pasokan batuan andesit dari Desa Wadas.
Ketika itu, pada Selasa (8/2/2022), ratusan aparat gabungan TNI dan Polri mengepung desa Wadas dengan senjata lengkap. Tak lama, terjadilah bentrok, yang berbuntut ditangkapnya puluhan warga oleh aparat dan digelandang ke Polres Purworejo. Kuasa hukum warga Wadas, Julian Dwi Prasetya mengatakan, ada 64 warga yang ditangkap aparat dalam peristiwa itu.
Karenanya, berkaca pada konflik yang terjadi di beberapa daerah tersebut, pemerintah semestinya melibatkan masyarakat sekitar dalam perencanaannya.
Artinya, tak hanya tentang untung atau rugi, apalagi menyangkut proyek strategis nasional yang sudah seharusnya memiliki dampak positif bagi rakyat sekitarnya. “Ini yang harus diperhatikan,” tegasnya.
Karenanya pula, sebagaimana ajaran di dalam Islam, penguasa harus memiliki pola pikir mengurusi urusan umat secara keseluruhan, bukan malah untuk kepentingan segelintir swasta. “Bukan mengurusi urusan swasta atau para kapitalis oligarki,” pungkasnya.[] Zainul Krian
Dapatkan update berita terbaru melalui channel Whatsapp Mediaumat