Prof. Zainal Muttaqin: Mandatory Spending Dihapus, di Mana Peran Negara Nantinya?

 Prof. Zainal Muttaqin: Mandatory Spending Dihapus, di Mana Peran Negara Nantinya?

Mediaumat.id – Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Prof. dr. Zainal Muttaqin, Ph.D., Sp.BS. mempertanyakan di mana peran negara dalam melayani masyarakat jika pembiayaan kesehatan yang telah ditentukan sebelumnya dihilangkan.

“Terus pelayanan (kesehatan) untuk rakyat di mana?” ujarnya dalam Fokus Spesial Bincang Hangat: Layanan Kesehatan di Indonesia, Ahad (16/7/2023) di kanal YouTube UIY Official.

Pasalnya, sebagaimana dipahami bersama, kesehatan adalah hak dasar warga negara, dan kewajiban konstitusi untuk memenuhi itu.

Bukanlah tanpa sebab ia mengungkapkan hal ini. Di dalam UU Kesehatan Omnibus yang disahkan pada Selasa (11/7) lalu oleh DPR RI, sekali lagi ia tegaskan, terdapat poin penghapusan mandatory spending kesehatan.

Melansir laman resmi Kementerian Keuangan (Kemenkeu), mandatory spending adalah belanja atau pengeluaran negara yang sudah diatur oleh undang-undang.

Lebih lanjut Prof. Zainal juga memaparkan, kewajiban negara dimaksud sebelumnya dijabarkan di dalam Pasal 171 ayat (1) dan (2) UU 36/2009, yang mencantumkan pengeluaran wajib untuk anggaran kesehatan sebesar minimal 5 persen dari APBN dan minimal 10 persen dari APBD, di luar gaji.

Bahkan, di samping perintah konstitusi, juga TAP MPR Nomor 10 Tahun 2001, memerintahkan kepada presiden untuk menyediakan anggaran kesehatan diupayakan mencapai 15 persen dari APBN, selain biaya pendidikan 20 persen serta untuk mencapai Indeks Pembangunan Manusia.

Terlebih sebagaimana termaktub di dalam Mukadimah UUD 1945 yang menyebutkan tujuan bernegara di antaranya memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Sementara, kata Prof. Zainal, salah satu unsur pokok kesejahteraan adalah kesehatan. “Kesejahteraan itu salah satu unsurnya yang pokok adalah kesehatan,” ujarnya.

Sebutlah salah satunya program jaminan kesehatan nasional berikut sekitar 92 juta jiwa rakyat miskin yang memiliki hak sebagai PBI atau Penerima Bantuan Iuran BPJS. “Dari mana uangnya? Dari mandatory spending itu,” ungkapnya.

Demikian halnya dengan program Jamkesmas, Jamkeskot, yang menurut Prof. Zainal anggarannya pun dari mandatory spending.

Pun program pemerintah lainnya dalam hal ini Kemenkes pada 2020 mengenai pengadaan dokter spesialis dan penunjang berupa alat-alat kesehatan, baik stetoskop, kursi untuk perawatan gigi, mesin rontgen, USG, CT scan, hingga MRI.

Apalagi, kata dia, semua itu membutuhkan biaya pemeliharaan tidak murah, yang tentu pengadaan barunya pun mahal. “Pemeliharaan alat semua itu kan harusnya menjadi tanggung jawab pemerintah,” terangnya, yang anggarannya pun lagi-lagi dari mandatory spending.

Ditambah, target pencapaian pemerintah dalam bidang kesehatan, di antaranya 90 persen vaksinasi dasar bagi balita, secara fakta pun tidak tercapai.

“Vaksinasi dasar untuk bayi yang targetnya 90 persen hanya tercapai 63 persen,” ucapnya, melansir keterangan dari Ketua Bappenas Suharso Monoarfa ketika rapat dengan Komisi XI DPR Senin, 5 Juni 2023, yang mengatakan 9 dari 10 indikator kesehatan berdasarkan Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020-2024 berpotensi tidak tercapai alias meleset.

Di sisi lain, kasus balita dengan penyakit stunting (kerdil), yaitu gagal tumbuh akibat kurangnya asupan gizi pun sama. Padahal dalam jangka pendek, dapat menyebabkan terganggunya perkembangan otak, metabolisme, dan pertumbuhan fisik. Sementara, dalam jangka panjang, dampak stunting adalah kesulitan belajar.

“Tahun 2018 datanya masih 30 persen. Artinya, satu dari tiga anak Indonesia itu stunting,” ungkapnya, tentang kondisi di saat masih ada mandatory spending.

Dengan kata lain, kalau kewajiban negara dalam hal pembiayaan seputar hak dasar tersebut dihilangkan sebagaimana yang terkandung di UU Kesehatan Omnibus, maka bisa ia pastikan yang menjadi korban adalah masyarakat pada umumnya.

“Kalau itu (mandatory spending) dihilangkan, maka yang jadi korban adalah mereka, kelompok marginal, penyandang disabilitas, dan lain sebagainya,” pungkasnya.[] Zainul Krian

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *