Mediaumat.id – Terkait pernyataan Menkopolhukam Mahfud MD yang menyatakan haram mendirikan negara ala Nabi SAW, Pakar Hukum dan Masyarakat, Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. mengungkapkan tidak fair mengharamkan khilafah.
“Tidak fair bila kita mengharamkan khilafah dan memusuhi orang yang mempelajari dan mendakwahkan khilafah. Itu tidak fair!” tegasnya dalam Diskusi Media Umat: Mendirikan Negara ala Nabi, Haramkah? di kanal YouTube Media Umat, Ahad (10/4/2022).
Prof. Suteki menjelaskan, karena dalam sejarah selama 1300 tahun umat Islam memang dalam kepemimpinan sistem kekhilafahan, apa pun bentuk dan variasinya. Bahkan, ia menyebut, beberapa wilayah Indonesia sempat menjadi bagian atau wakil Kekhalifahan Utsmani, seperti Demak, DI Yogyakarta.
“Bukankah, kita juga pernah dibantu khilafah ketika melawan penjajah Belanda? Apakah kita akan melupakan begitu saja jejak kekhalifahan di negeri ini? Itu tidak fair! Itu a-histori!” sebutnya.
Ia menanyakan, taruhlah sistem dan jenis kekhalifahan itu tidak baku, namun apakah sesuatu yang tidak baku itu tidak bisa diikuti.
“Kalau sekarang kita ikuti sistem pemerintahan demokrasi, apakah demokrasi juga punya bentuk baku? Negara mana yang benar-benar menerapkan sistem demokrasi yang benar? Ala Amerika, Rusia, Cina, Eropa, Asia, Afrika?” ujarnya.
Ia kembali menanyakan, apakah negara yang menganut demokrasi benar-benar menerapkan prinsip dasar demokrasi, atau mereka tidak tulus menerapkan demokrasi melainkan hanya pseudo demokrasi.
“Atau bahkan sebenarnya mereka justru telah membunuh sendiri demokrasi yang mereka puja sebagaimana ditulis Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt bahwa demokrasi pun akan mati bila kediktaktoran rezim justru dipertontonkan (How Democracies Die),” cetusnya.
Selanjutnya Prof. Suteki menyampaikan, andai sistem pemerintahan Islam itu dikatakan tidak sesuai dengan karakter bangsa Indonesia yang majemuk, beragam, pluralistik, dan lain-lain, namun pernahkah berpikir bahwa zaman Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin itu masyarakat Madinah juga homogen.
“Masyarakatnya semua Muslim? Tidak bukan? Ada yang Muslim, musyrik, kafir, dan tidak beragama juga ada. Jadi, ketika hukum Islam diterapkan, masyarakat Madinah juga plural, majemuk, beragam,” bebernya.
Ia pun menyinggung, alasan menolak ide kekhalifahan itu bukan karena pluralitas masyarakatnya, namun karena tidak mau dan tentu saja banyak yang merasa terancam karena ditegakkannya hukum-hukum Allah atau setidaknya hukum yang bersumber dari hukum Islam.
“Baiklah, apakah mengikuti cara Nabi itu salah? Saya hanya mengabarkan bahwa kita hendaknya fair! Itu saja!” pungkasnya.[] Puspita Satyawati