Prof Suteki: Tanpa Norma, Rakyat Bisa Main Hakim Sendiri
Mesti termasuk perbuatan yang mala inse (buruk/jahat dalam pandangan norma agama, norma sosial, norma moral) tetapi anehnya, negara yang berpenduduk mayoritas Muslim ini tidak memiliki norma hukum yang tegas untuk melarang LGBT. Malah penolakan uji materi oleh MK semakin menegaskan homo dan lesbi tidak dilarang secara yuridis di negeri ini. Di seputar itulah wartawan tabloid Media Umat Joko Prasetyo berbincang dengan Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Prof Dr Suteki, SH, Mhum. Berikut petikannya.
Tanggapan Anda dengan penolakan MK terhadap uji materi KUHP yang melegalkan zina dan LGBT?
Saya tidak setuju dengan keputusan MK yang tidak memperluas Pasal 292 KUHP tentang persetubuhan sesama jenis. Dalam KUHP tersebut yang dilarang kan kalau salah satu pelakunya adalah anak di bawah umur. Artinya, kalau yang sudah sama-sama dewasa tidak dikenakan sanksi. Saya tidak setuju itu. Mestinya MK membuat norma baru.
Tapi MK berdalih yang berwenang membuat norma itu DPR bukan MK…
Pengalaman yang sudah-sudah MK bisa membuat norma baru. Mahfud MD ketika jadi Ketua MK juga beberapa kali memberi keputusan yang di dalamnya memperluas pasal. Itu sama artinya dengan membuat norma baru. Ada tentang Pemilu, Pilkada, kasus Macica Mochtar, dan lainnya.
Dengan ditolaknya uji materi itu, berarti secara yuridis praktis tidak ada norma yang melarang LGBT?
Ya. Kalau itu ada, jelas tidak mungkin ada forum LGBT. Mesti ini perbuatan yang terlarang. Padahal kalau kita lihat lesbi dan gay (homo) masuk ke dalam perbuatan yang mala inse. Artinya, perbuatan yang buruk dari sono-nya. Ini bisa kita lacak ke dalam norma-norma agama, norma susila, normas sosial, hampir sebagian besar mengatakan itu perbuatan buruk, jahat.
Mengapa di negeri yang mayoritas Muslim ini, tidak ada norma hukum yang tegas melarang LGBT?
Yang jadi perhatian besar kita kan itu. Kita punya KUHP sejak zaman Belanda. Kemudian diteruskan dengan UU No 146 itu menjadi KUHP kita ini. Tetapi kita tahu sendiri, KUHP kita ini adalah KUHP yang liberal.
Ini memang menjadi salah satu keprihatinan kita. Mengapa penyusunan RUU KUHP sejak tahun 1962, kalau tidak salah. Sampai sekarang itu belum juga selesai. Saya sering mengatakan ini adalah RUU abadi. Itulah salah satu faktor yang membuat para pemohon itu ke MK, karena kalau mengandalkan DPR membuat norma agar LGBT ini dilarang, ya sampai kapan? Makanya mereka maju ke MK. Supaya [pasal] 284, 285 dan 295 itu dinyatakan tidak konstitusional karena bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Jadi secara teknis masalahnya apa sehingga bisa begini?
Menurut saya sih masalah komitmen Prolegnas. Bagaimana kita itu memprioritaskan, atau menganggap penting banget atau tidak? Semestinya kan diprioritaskan betul. Tapi saya prediksikan sampai 2019 pun masalah ini tidak akan diprioritaskan. Karena tampaknya mereka lebih memprioritaskan Pilkada serentak 2018 dan Pilpres 2019.
Secara yuridis, masalahnya apa?
Secara yuridis ya seperti yang disinggung tadi, KUHP kita warisan Belanda dan liberal sekali. Sementara pembangunan hukum di Indonesia pun tidak tegas bersumber dari, misalnya, agama. Jadi hukum Islam, sebenarnya bisa dilihat sebagai sumber pembangunan hukum di Indonesia. Tetapi itu kan tidak dilakukan. Sehingga pelarangan secara yuridis di KUHP juga tidak ketemu, di UU organik yang lain juga tidak ketemu.
Berarti ada masalah serius dalam filosofi hukumnya?
Jelas, ini kan persoalan nilai. Maaf ini, Sila Pertama Ketuhanan Yang Maha Esa dan Sila Kedua Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Tapi kok kedua sila tersebut sama sekali tidak bisa diadopsi terutama untuk menjiwai sistem hukum di Indonesia?
Tapi kalau saya memandangnya begini, sila pertama dan kedua itu sebagai preset, ajaran yang memiliki sifat imperatif kategoris (tidak boleh ditawar). Dengan sudut pandang seperti ini, berarti LGBT juga bertentangan dengan Pancasila.
Tapi karena sifatnya moralitas seperti ini, maka sering kali dipakai untuk tameng (maksudnya menolak aturan dari Allah SWT, red.). Ini menunjukkan secara operasional memang Pancasila tidak bisa dijadikan landasan. Tetapi secara moral memiliki kekuatan. Tapi dari sisi penegakannya memang agak lemah. Agar kuat, memang harus diwujudkan secara yuridis.
Berati ada masalah serius di sisi ideologis?
Secara ideologis, Pancasila itu seringkali dijadikan tameng. Dikatakan sebagai ideologi perekat. Alasan inilah, dengan alasan kemanusiaan (sila kedua) kemudian seolah ada pembiaran terhadap LGBT itu.
Mengapa?
Karena memang kenyataannya, penyelenggara negara ini kadang lebih ke sosialis, komunis, liberalis. Kita ini mau ke mana? Fakta riil ini. Pancasila itu sering saya katakan hanya sebagai lips service, tameng, lamis, omong doang. Tetapi kenyataannya kita mengadopsi ideologi-ideologi yang di luar Pancasila. Liberalisme kita pakai. Sosialisme kita pakai. Komunisme justru kita mengadopsinya. Apakah itu sama dengan yang kita maui?
Sementara kalau kita lihat, negara hukum Indonesia ini, menegaskan salah satu sumber pembangunan hukum kita itu adalah hukum Islam, hukum adat, baru hukum modern. Jadi kita ini maunya ke mana? Malah bingung saya, sebagai orang hukum.
Jadi riilnya mau ke arah mana? Kalau Indonesia diibaratkan sebagai bahtera. Bahtera ini mau berlayar ke arah mana? Dan Pancasilanya sebagai bintang pemandu. Tapi kok malah tidak diikuti? Saya ya merasa geli juga. Saya memang turut salah ya berada dalam sistem ini. Tapi apa yang bisa saya perbuat dalam sistem ini?
Bagaimana kalau hanya berdasarkan wahyu Alah SWT sajalah hukum dibuat?
Memang begitu semestinya. Tapi kita bikin hukum pun sering mengadopsi atau bahkan mentransplantasi hukum dari negara lain tanpa mengetahui konteks Indonesia seperti apa. Kalau sesuai masih mending kalau bertentangan bagaimana? Misal, untuk konteks LGBT ini mengambil dari Belanda (membiarkan LGBT berjalan, red). Ini memang yang mengkhawatirkan. Kita ini memang banyak mengadopsi hukum-hukum yang berasal dari Amerika. Bila tidak dikawal bisa jadi nanti malah melegalkan (perkawinan sejenis, red.).
Bagaimana kalau pemerintah tetap tidak melarang LGBT? Apa bisa kita melakukan main hakim sendiri?
Tidak mungkin juga kita mau main hakim sendiri. Nanti kita yang malah kena delik hukum.
Nah, untuk saat ini, karena kita sekarang memang bukan negara khilafah ya, bukan negara Islam, ya tidak bisa kita menerapkan hukum Islam. Yang paling memungkinkan dilakukan sekarang adalah negara membuat regulasi sendiri atau mau dimasukan ke KUHP, terserah. Yang jelas segera membuat peraturan yang melarang perbuatan persetubuhan yang sejenis itu.
Tapi kalau nunggu, kapan DPR selesai membahas RUU abadi itu? Mengapa tidak dibuat Perppu Pelarangan LGBT? Karena memang sudah darurat. Karena kalau tetap tidak ada norma, sedangkan rakyat sudah benar-benar muak maka sangat mungkin akan terjadi main hakim sendiri.[]
Sumber: Tabloid Mediaumat Edisi 211