Prof. Suteki: Patut Diduga SE Kapolri terkait UU ITE untuk Selamatkan Buzzer dan Pihak Pro Rezim
Mediaumat.news – Pakar Hukum Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. menyatakan patut diduga Surat Edaran Kapolri terkait UU Informasi dan Transaksi Elektronik untuk menyelamatkan buzzer dan pihak-pihak pro rezim.
“Patut diduga SE ini keluar untuk menarik bumerang yang telah memakan korban lawan-lawan politik dan sentimen-sentimen pribadi. Buzzer dan pihak pihak pro rezim patut diduga hendak diselamatkan dengan SE ini. Cukup minta maaf, masalah tidak akan diteruskan polisi. SE berfungsi sebagai dalil sekaligus dalih menolak laporan dan menghentikan penyelidikan atau penyidikan,” ungkapnya kepada Mediaumat.news, Rabu (24/2/2021).
Sedangkan, restriksi restorative justice dalam SE tersebut untuk kasus dugaan radikalisme, ekstremisme yang belum jelas jenis kelaminnya, menurutnya, patut diduga sebagai proyek yang tetap dari pemerintah untuk mendeskreditkan umat Islam.
Sebelumnya, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengeluarkan Surat Edaran terkait penerapan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Ada 11 poin dalam surat tersebut, salah satunya mengatur bahwa penyidik tidak perlu melakukan penahanan terhadap tersangka yang telah minta maaf.
Surat Edaran Nomor SE/2/II/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif itu diteken Kapolri pada 19 Februari 2021.
Sigit meminta jajarannya mengedepankan edukasi dan langkah persuasif dalam penanganan perkara UU ITE, khususnya dengan sarana restorative justice (RJ). Hal ini terlihat secara jelas pada SE KAPOLRI pada huruf g dan h sebagai berikut:
g. Penyidik berprinsip bahwa hukum pidana merupakan upaya terakhir dalam penegakan hukum (ultimum remidium) dan mengedepankan restorative justice dalam penyelesaian perkara.
h. Terhadap para pihak dan/atau korban yang akan mengambil langkah damai agar menjadi bagian prioritas penyidik untuk dilaksanakan restorative justice terkecuali perkara yang bersifat berpotensi memecah belah, SARA, radikalisme, dan separatisme.[] Joko Prasetyo