Prof. Suteki: Kondisi Hukum 2023 Bisa Lebih Represif dari 2022

Mediaumat.id –Pakar Hukum dan Masyarakat Prof. Suteki memprediksi kondisi hukum 2023 masih akan sama bahkan bisa lebih refresif mengingat ke depan masuk tahun sangar dalam perpolitikan, politik identitas yang sedang digembargemborkan tetap menyasar umat Islam.

“Ini bisa lebih represif! Apalagi kalau kita kaitkan dengan semangat yang ada di KUHP baru misalnya tindakan terhadap keamanan negara, bidang politik, ideologi seolah olah represif. Apalagi dengan narasi yang tidak jelas misalnya di pasal 188 KUHP,” ungkapnya di acara Bincang Perubahan: Ada Apa 2022? Bagaimana 2023? melalui kanal YouTube Bincang Perubahan, Ahad (1/1/2023).

Meski Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang disahkan baru berlaku pada 2025, ia menduga nuansa KUHP itu akan tetap mewarnai penindakan yang akan dilakukan sekarang.

“Juga akan menjadi masalah ketika Kiai Agil Siradj meminta kepada presiden (melalui BNPT) agar mengeluarkan inpres yang melarang Wahabi, Salafi dan khilafah. Ini kan memecah belah bangsa,” jelasnya.

Refleksi 2022

Menyikapi realitas perjalanan hukum pada 2022, Pakar Hukum dan Masyarakat Prof. Suteki menilai hukum dibuat atas kehendak penguasa. “Law making (pembuatan hukum) di rezim ini masih bersifat top-down artinya hukum dibuat atas kehendak penguasa dibandingkan dengan bottom-up aspirasi dari bawah,” bebernya.

Seharusnya memang tidak murni bottom-up tapi antara top-down dan bottom-up bisa digabung. “Tapi ini lebih cenderung ke top-down. Banyak peraturan perundang-undangan ketika rakyat masih menginginkan penjelasan, masih kontroversial tetap disahkan,” bebernya.

Menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) pun, lanjutnya, ternyata MK setali tiga uang dengan rezim legislator. “Saya bisa katakan dalam pengesahan undang-undang bisa saja terjadi mafia hukum. Antara yudikatif dan legislatif bersekongkol,” duganya.

Ia menguatkan dugaannya itu dengan memberikan contoh pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja. “UU Cipta Kerja dikritik tapi tetap diketok. Begitu sudah jadi tetap dikritik kemudian ada pengajuan yudicial review akhirnya keluar putusan dari MK, inkonstitusional bersyarat dan selama 2 tahun harus ada perbaikan. Ternyata hari ini 30 Desember 2022 dikeluarkan perppu untuk tetap menjalankan UU Cipta Kerja ini. Ini seolah-olah menganulir putusan MK. Ini yang menurut saya rezim terlalu top-down,” jelasnya.

Dan kalau bicara implementasi, sambungnya, juga terlalu represif. Dengan melihat data-data terkait tindak pidana, penyalahgunaan kekuasaan oleh penegak hukum semisal kasus Sambo, kasus Kanjuruhan itu melibatkan penegak hukum sendiri.

“Kemudian penanganan tuduhan radikalisme, terorisme, ekstremisme itu lebih mengedepankan persoalan penindakan represif dibanding dengan menanganinya melalui persuasi, melalui dialog,” sesalnya.

Bahkan, ucap Prof. Suteki, terjadi extra yudicial killing, tersangka sudah terbunuh sebelum diadili, sementara terorisme di Papua justru dirangkul diajak dialog masuk Istana. “Ini kontradiksi untuk implementasi penegakan hukum justru lebih ke arah represif,” tukasnya.

Menurut Prof. Suteki, akibat pembuatan hukum yang top-down, penindakan hukum yang represif akan berakibat nilai keadilan tidak bisa diraih, tuntutan keadilan tidak bisa diraih. “Kalau dalam dunia peradilan itu namanya trials without truth in justice (pengadilan tanpa pengutamaan kebenaran dan keadilan) itu yang disebut dengan industri hukum,” pungkasnya.[] Irianti Aminatun

Share artikel ini: