Prof. Suteki: Gelar Profesor Kehormatan Tak Ada Dasar Hukumnya

 Prof. Suteki: Gelar Profesor Kehormatan Tak Ada Dasar Hukumnya

Mediaumat.news – Rencana Universitas Pertahanan RI (Unhan) yang akan memberikan gelar Profesor Kehormatan kepada Presiden Ke-5 RI Megawati Soekarnoputri pada 11 Juni mendatang, dinilai Pakar Hukum dan Masyarakat Prof. Dr. Suteki, S.H., M. Hum., tidak ada dasar hukumnya.

“Jabatan akademik profesor atau guru besar itu dalam nomenklatur hukum tidak dikenal Profesor Kehormatan seperti Doktor Honoris Causa (HC), yang ada adalah Profesor atau guru besar tidak tetap. Jadi tidak ada Profesor Honoris Causa (HC),” tuturnya kepada Mediaumat.news, Rabu (9/6/2021).

Jika sekarang diada-adakan, ia menduga ada kehendak politik dan hukum yakni hukum hanya dipakai sebagai alat legitimasi kekuasaan. Sepanjang rezim penguasa menghendaki, maka hukum pun dapat ditundukkan agar mau melayani kepentingan politik. “Hal ini saya kira sudah jamak terjadi di negeri ini. Apa yang tidak bisa diatur, dikondisikan. Jika hukumnya belum ada, sangat mudah untuk mengadakan hukum yang baru, meskipun dari sisi etis cacat moral,” ujarnya.

Ia menilai pengangkatan Profesor/Guru Besar tidak tetap harus dilatarbelakangi dengan keahlian dan prestasi luar biasa dari orang tersebut. “Jadi, ada alasan khusus pengukuhan seseorang sebagai guru besar tidak tetap yakni dilatarbelakangi oleh karena yang bersangkutan memiliki prestasi luar biasa dalam bidangnya. Ini juga berarti seharusnya seseorang tersebut memiliki rekam jejak akademik berupa studi, baik di tingkat sarjana maupun pasca sarjana,” jelasnya.

Menurutnya, prestasi tersebut antara lain dapat diwujudkan dalam bentuk karya-karya ilmiah, penelitian dan pengabdian.

“Misalnya telah menghasilkan banyak buku ilmiah di bidangnya sehingga layak disebut sebagai ahli, menulis di jurnal-jurnal bereputasi nasional dan internasional terkait ilmu di bidangnya, apalagi jurnal tersebut berindeks Scopus,” ungkapnya.

Atau pula, lanjutnya, seseorang dinilai telah banyak mengembangkan pemikiran dan langkah-langkah progresif dan inovatif sebagi terobosan kreatif (creative breakthrough) yang mencerminkan sikap tanggap, keberanian sekaligus menunjukkan kapasitas dan kompetensinya yang luar biasa sebagai seorang praktisi maupun teoretisi.

Otobiografi

Prof. Suteki menilai beredarnya karya ilmiah yang diduga ditulis Megawati itu adalah otobiografi bukan monograf. “Jika yang ditulis itu adalah riwayat keberhasilan diri itu otobiografi bukan monograf, yakni bahan pengukuhan jabatan akademik tertinggi (profesor),” ujarnya.

Menurutnya, artikel yang didasarkan pada prestasi diri sendiri itu akan cenderung bersifat subjektif, bias dan sulit dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Disamping itu, menurutnya, seseorang yang menyandang jabatan akademik profesor atau guru besar itu tidak ringan bebannya. Berat pertanggungjawabannya secara akademik keilmuan. “Jika merasa tidak kompeten, kurang mampu, tidak memiliki keahlian tertentu yang luar biasa lebih baik seseorang tidak mengusulkan atau tidak mau diusulkan menjadi Profesor atau Guru Besar Tidak Tetap,” tegasnya.

Karena mau tetap atau tidak tetap, menurut Prof. Suteki seseorang yang dikukuhkan menjadi guru besar akan berhak menyandang titel profesor.

“Apakah tidak lebih baik menolak pengukuhannya dari pada di-bully di semua media. Akan lebih terhormat menolak jabatan akademik profesor “kehormatan” dari pada menerimanya dengan rasa kurang terhormat dan dihormati oleh kalangan akademik (teman sejawat) sendiri,” pungkasnya.[] Achmad Mu’it

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *