Prof. Suteki: Demokrasi Tidak Bisa Diharapkan Menegakkan Hukum Islam

 Prof. Suteki: Demokrasi Tidak Bisa Diharapkan Menegakkan Hukum Islam

Mediaumat.info – Pakar Sosiologi Hukum dan Filsafat Pancasila Prof. Suteki menyatakan memperjuangkan penegakan hukum Islam agar bisa berada di atas hukum konstitusi lewat jalur demokrasi, tidaklah bisa diharapkan.

“Jadi, ini sudah tidak bisa diharapkan lagi dengan demokrasi itu, karena mayoritas anggota dewan beragama Islam, kemudian mengharapkan ini nanti akan lebih mempertimbangkan hukum Islam daripada dengan hukum sekuler, tapi faktanya tidak begitu,” ujarnya dalam Diskusi Online Media Umat: Ayat Suci di Atas Ayat Konstitusi, Refleksi Nuzulul Qur’an, Ahad (31/3/2024) di kanal YouTube Media Umat.

Di dalam alam demokrasi tersebut, bebernya, pembuatan hukum berdasarkan pada konsensus atau mayoritas yang menjadi ukuran, memang di dalam gedung DPR mayoritas beragama Islam, namun faktanya tidak bisa diharapkan lagi karena mereka (anggota dewan dan anggota pemerintahan) lebih mengutamakan pertimbangan-pertimbangan yang sifatnya duniawi bukan dari sisi agama.

“Jadi ukuran kebenaran itu dalam demokrasi sebenarnya adalah angka, ketika angkanya banyak maka dianggap benar, namun ketika angkanya kecil maka dia dianggap tidak benar,” bebernya.

Maka, lanjutnya, kalau berharap dalam sistem demokrasi ini, mustahil kitab suci berada di atas konstitusi kalaupun itu dikatakan di atas, hanyalah sebagian saja untuk membentuk human law (hukum manusia).

“Misalnya kita bicara miras, apa hukumnya, maksudnya kita mau mengatur alkohol itu dengan cara apa, karena dari sisi fakta itu banyak juga yang minum, memproduksi, mengedarkan, jadi sisi sosialnya ada namun di sisi masyarakatnya tidak bisa diterima, maka ketika di tahun 2020 itu ada perpres yang mengatur tentang investasi terbuka untuk minuman keras ini,” ungkapnya.

Ia menambahkan jadi ada 4 provinsi yang diperbolehkan untuk melakukan investasi minuman alkohol yaitu NTT, Papua, Sulut, dan Bali, namun di perpres tersebut tidak jalan karena ada pertentangan dari kalangan umat Islam.

“Ini sebenarnya kalau dilihat dari sisi pembentukan hukum sebenarnya tidak ada kesadaran dari negara atau di pemerintahan yang mempunyai kekuasaan untuk membentuk hukum terutama investasi, karena mikirnya investasi yang pragmatis, soal agama ya nanti dulu, coba kalau lolos pasti produksi besar-besaran di 4 provinsi itu kan?” tegasnya.

Jadi Prof. Suteki masih meragukan kalau kitab suci betul-betul bisa ditempatkan di atas konstitusi, alasanya karena aspek pragmatisme tersebut.

“Jadi sepanjang sistem pemerintahan kita itu menganut sistem demokrasi, ya meskipun adalag UU zakat, haji, dan seterusnya, tapi itu kan sebatas ritual, esensinya masih sekuler, jadi sulit kalau kita berharap untuk menempatkan kitab suci berada di atas konstitusi atau konstitusi bersumber pada kitab suci atau tidak boleh konstitusi dan peraturan perundangan-perundangan itu bertentangan dengan ketentuan kitab suci,” bebernya.

Menurutnya, sepanjang demokrasi itu memang bisa menempatkan kitab suci di dalam ayat konstitusi tapi hanya sebatas prasmanan saja.

“Kira-kira aman tidak, menyebabkan keguncangan pemerintah dalam arti terancam sistem pemerintahannya tidak, atau sistem sekulernya, sistem investasinya, perbankan dan seterusnya itu jika tidak terancam ya tidak masalah, begitu mengancam ya itu jadi masalah besar,” tandasnya. [] Setiyawan Dwi

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *