Mediaumat.news – Berdasarkan kutipan isi buku How Democracies Die, Pakar Sosiologi Hukum Masyarakat Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. menyebut yang membunuh demokrasi adalah penguasa yang justru terpilih melalui sistem demokrasi.
“Siapa pembunuh demokrasi itu? Di buku ini dijelaskan bukan jendral yang tiran, diktator, tapi justru penguasa yang terpilih dari sistem demokrasi itu. Hingga dia (penulis) mengatakan ‘It less dramatic, but equally destructive’,” ujarnya pada acara [Live] Bedah Buku Online-Best Seller Internasional: How Democracies Die, Sabtu (28/11/2020) di kanal Youtube Jurnalis Muslim.
Sebelumnya, ramai diperbincangkan masyarakat foto Gubernur Jakarta Anies Baswedan membaca buku yang berjudul How Democrasies Die tulisan duo profesor ilmu pemerintahan Universitas Harvard; Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt.
Prof. Suteki juga menjelaskan bahwa di buku tersebut dijabarkan mengapa demokrasi bisa mati. “Nah di buku ini dijelaskan mengapa demokrasi bisa mati itu karena adanya sikap dan tindakan otoritarian dari para penguasa itu sendiri. seperti dalam buku ini juga dikatakan bahwa tidak semua pemimpin terpilih itu punya track record represif dan otoriter. Memang sejak awal tampak otoriter ada, namun ada juga yang awalnya dikatakan polos, orangnya baik, namun pelan tapi pasti menjadi otoriter untuk mempertahankan status quo,” bebernya.
Kasus Indonesia
Yang menjadi pertanyaan selanjutnya, apakah demokrasi di Indonesia juga berada dalam kondisi sekarat? “Lalu penulis membeberkan banyak contoh bahwasannya pemimpin yang terpilih membunuh demokrasi secara perlahan. Ternyata, demokrasi juga mengalami senja kala. Yaitu mendekati kematian. Apakah mungkin penguasa Indonesia ini yang mengaku sebagai penguasa yang demokratis, terpilih secara demokratis sedang mengabadikan demokrasi? Atau justru sedang membunuh sistem yang dipilih dan diciptakan sendiri?” ungkapnya.
Dan Prof. Suteki juga mengungkap bahwa penulis buku ini memberikan daftar pertanyaan sekaligus indikator apakah sebuah sistem kepemimpinan itu otoriter atau demokratis. Ada empat indikator otoritarianism yang itu bisa sekaligus membunuh demokrasi.
“Pertama, penolakan atau komitmen yang lemah terhadap sendi-sendi demokrasi. itu ada parameternya, pertama apakah mereka suka mengubah-ubah undang-undang? Kedua apakah mereka melarang organisasi tertentu? Ketiga apakah mereka membatasi hak-hak politik warga negara? Kedua, adanya penolakan terhadap legitimasi oposisi. Ketiga, toleransi dalam hal ini pembiaran atau sikap yang bahkan mendorong adanya aksi kekerasan. Keempat, kesiagaan untuk membungkam kebebasan sipil,” bebernya.
Dengan latar belakangnya, Prof. Suteki fokus pada pembahasan indikator yang pertama. “Untuk indiktor pertama mengenai undang-undang, ada 79 UU pada UU Cipta Kerja yang coba untuk diubah karena dianggap terjadi pasal-pasal yang saling berdistorsi. Dan itu, mengganggu terutama dalam hal investasi di Indonesia. Dan nyatanya sudah diubah dalam waktu yang terlalu singkat. Parameter kedua juga terbukti dengan pencabutan badan hukum Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Parameter ketiga juga terbukti dengan ditangkapnya anggota Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) saat ingin melakukan aksi menyampaikan pendapat di muka umum yang seharusnya dijunjung tinggi dalam demokrasi,” ungkapnya.
Maka, menurutnya, kalau mengacu pada indikator pertama, Indonesia sudah memenuhi indikator sebagai negara yang otoriter. “Kalau dilihat dari indikator pertama mengenai lemahnya komitmen terhadap sendi-sendi demokrasi itu kalau diterapkan di Indonesia, saya mengatakan itu (indikator otoritarianisme) sudah terpenuhi,” pungkasnya.[] Billah Izzul Haq