Prof Suteki dan Fungsi Intelektual
Oleh: Ikhsan Kurnia (Penulis)
Saya tidak mengenal sosok Prof Suteki secara pribadi. Namun saya tahu bahwa beliau adalah seorang guru besar Ilmu Hukum UNDIP. Tempo hari saya berkunjung ke Pascasarjana Hukum UNDIP untuk mencari informasi Program S2 Ilmu Hukum. Saya pun meminta brosur informasi pendidikan ke bagian akademik. Saya baca-baca, di sana tertulis nama Prof Suteki sebagai Ketua Program Studi. Karena penasaran dengan sosoknya yang akhir-akhir ini jadi trending di media, saya pun add Facebooknya. Hingga hari ini saya cukup rutin mengikuti TS-TS nya.
Saya sungguh kaget, bahkan shock, ketika mendengar beliau dijatuhi hukuman oleh pimpinan Perguruan Tinggi tempatnya mengajar. Hari ini (6/6/2018), beliau update status Facebooknya, menginformasikan bahwa dirinya dibebastugaskan sementara dari tugasnya sebagai Kaprodi MIH, Ketua Senat FH dan Anggota Senat UNDIP. Saya shock bukan karena beliau adalah bagian dari keluarga saya, atau teman dekat, atau dosen saya, namun karena saya merasa bahwa akal sehat saya (dan saya yakin banyak pula orang yang merasakan sama) seolah sedang diinjak-injak dan dinista. Saya berfikir keras dan bertanya pada diri sendiri, apakah sudah serendah ini level peradaban kita?
Sekelas Prof Suteki, yang memiliki prestasi luar biasa tidak hanya dari sisi akademis namun juga dalam aspek kepemimpinan (leadership), mendapatkan hukuman “struktural” justru karena beliau menjalankan fungsi ke-intelektualitas-annya dengan semestinya, di saat banyak kaum epistemik kampus lain lebih memilih posisi aman dan nyaman. Prof Suteki sadar, bahwa peran seorang intelektual (cendekiawan) tidak dapat direduksi dan dilokalisir hanya pada tugas normatifnya, yakni sebagai ilmuwan (scientist), peneliti (researcher) atau pengajar (lecturer). Melainkan juga memiliki keinsyafan dan kesadaran akan peran transformatifnya.
Makna dan Fungsi Intelektual
Agar argumentasi ini lebih robust, saya akan coba paparkan makna intelektual secara literatur. Dalam kamus bahasa Inggris, istilah intellectual bisa sebagai kata benda (noun) maupun kata sifat (adjective). Sebagai kata benda, John M Echols dan Hassan Shadily menerjemahkannya dengan cendekiawan. Di Prancis, istilah intellectuel memiliki sejarah yang cukup menarik. Untuk sekian lama, kata tersebut hanyalah merupakan kata sifat, dan bukan substantif.
Baru ketika terjadi peristiwa Alfred Dreyfus di Prancis, kata tersebut diposisikan pula sebagai kata benda. Kisahnya begini: seorang perwira tentara Prancis, Alfred Dreyfus, pada tahun 1894 diadili atas tuduhan menjual rahasia militer kepada agen Jerman, sehingga ia diasingkan di Amerika Serikat. Hal ini memicu reaksi keras dari sekelompok pengarang antara lain Anatole France, Emile Zola dan Marcel Proust untuk membuat Manifeste des Intellectuels pata tahun 1898. Manifeste tersebut dipandang sebagian orang sebagai bentuk superioritas kaum intelektual. Hal ini dikarenakan pada waktu itu intelektual dipandang sebagai kelompok yang hanya exist di laboratorium dan perpustakaan. Namun, setelah kejadian itu, istilah intellectuel mendapat pemaknaan yang lebih luas dari sebelumnya.
Sementara itu, Boborykin mendefinisikan kaum cendekiawan sebagai suatu strata sosial yang terdiri dari orang-orang yang secara professional terlibat dalam pekerjaan mental, terutama dalam bentuknya yang kompleks dan kreatif, dan dalam perkembangan serta penyebaran budaya. Komunitas intelektual tidak saja sebagai pamasok ide-ide, tetapi ia juga harus terlibat dalam pergumulan politik praktis sehari-hari.
Tak jauh dari pendapat Boborykin, Karl Mannheim (seorang pemikir Sosiologi Pengetahuan), ketika melihat perubahan di Eropa tahun 1930-an, secara positif mengakui hilangnya “intelektual resi” dan membela posisi intelektual yang berpolitik serta mendukung pragmatisme sebagai sesuatu yang tak terelakkan (Karl Mannheim, Ideologi dan Utopia, 1991).
Saya sepakat dengan pendapat yang menyebutkan bahwa cendekiawan bukanlah sekedar orang yang sudah melewati pendidikan tinggi dan memperoleh gelar sarjana. Mereka juga bukan sekedar ilmuan yang juga mendalami dan mengembangkan ilmu dengan penalaran dan penelitian. Hal ini dikarenakan istilah Ilmuwan (scientist) yang pertama kali dimunculkan oleh Whewell pada tahun 1840 adalah mereka yang hanya bekerja dalam bidang sains. Orientasinya lebih positivistik: science is for science.
Namun, intelektual adalah sekelompok orang yang merasa terpanggil untuk memperbaiki masyarakatnya, menangkap aspirasi mereka, merumuskannya dalam bahasa yang dapat difahami setiap orang, menawarkan strategi dan alternatif pemecahan masalah. James Mac Gregor Burns (Dalam Jalaluddin Rakhmat, Islam Alternatif, 1991) berkata bahwa cendekiawan adalah a devotee of ideas, knowledge, values.
Pembunuhan Karakter Intelektual
Jejak digital hari ini menjadi saksi bagi sejarah masa depan Indonesia (the future history), bahwa ada seorang intelektual yang dibunuh karakternya oleh kuasa struktur justru karena dia menjalankan fungsinya sebagai seorang intelektual. Penguasa hari ini dengan sangat membabi buta melakukan over control terhadap kaum intelektual kampus. Bahkan dengan bangganya Menristek Dikti menyampaikan kebijakannya, bahwa ia hendak memantau nomor HP dosen dan Media Sosial Mahasiswa.
Governing style semacam ini menurut saya tidak ada bedanya dengan gaya otoritarian Orde Baru. Bahkan, sebagai perbandingan, dulu sosok intelektual semacam Amies Rais, setahu saya, tidak pernah mendapatkan hukuman dari struktur akademis di tempatnya mengajar (UGM). Padahal, kita semua tahu bagaimana galaknya dan tajamnya kritik beliau kepada Soeharto pada waktu itu. Jika ini dianggap “dosa” oleh penguasa, menurut saya “dosa” Prof Suteki tidak sebesar “dosa” Prof Amien Rais. Tapi mengapa hari ini Perguruan Tinggi tampak lebih keras dalam membungkam dosen-dosen yang kritis?
Dalam kasus ini, saya memberikan sorotan tajam kepada kebijakan pengangkatan Rektor oleh Presiden. Gagasan tersebut adalah upaya penguasa untuk lebih mudah mengontrol segala sesuatu (dinamika) yang ada dalam perguruan tinggi. Pemerintah, konon, bermaksud agar lebih mudah menangkal radikalisme di dunia kampus. Namun sayangnya, kata “radikal” kemudian diasosiasikan (bahkan seolah disamakan) dengan kata “kritik”. Dampaknya, banyak intelektual yang kehilangan suara kritisnya.
Bagi saya, pengangkatan Rektor oleh Presiden adalah kebijakan beraroma “sentralistik” dan jauh dari nilai-nilai demokrasi. Secara mentalistik tentu sangat berbeda, antara Rektor yang dipilih (elected) secara demokratis, dengan yang ditunjuk oleh Presiden. Praktek demokratisasi di Perguruan Tinggi seharusnya menjadi miniatur dan contoh bagi praktek demokrasi rakyat. Mengapa? Karena kampus adalah tempatnya kaum intelektual yang seharusnya memiliki peradaban demokrasi yang jauh lebih tinggi. Namun, aturan pemerintah justru semakin menjauhkan Perguruan Tinggi dari keadaban demokrasi.
Dari sudut pandang civil society, sesungguhnya ini ancaman. Menurut Jürgen Habermas (Three Normative Models of Democracy, 1994), institusi civil society harus memproteksi perkembangan opini publik yang otonom dalam ruang publik (public sphere) dari kolonisasi struktur birokrasi (sistem kekuasaan) maupun pasar. Justru seharusnya institusi Perguruan Tinggi lah yang melindungi kebebasan beropini di ruang publik yang dilakukan oleh orang-orang seperti Prof Suteki.
Perlindungan Intelektual
Jika bangsa ini masih ingin disebut demokratis, maka seharusnya para intelektual organik (dalam bahasa Gramsci) harus dilindungi kebebasannya berpendapat, apalagi mereka memiliki basis epistemologis yang dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan disiplin keilmuannya. Ekspresi intelektual inilah yang seharusnya ditumbuhkan oleh negara, bukan justru dikeringkan (dried up).
Kampus akan menjadi “gurun pasir” yang gersang, tanpa diskusi, tanpa debat, tanpa dinamika, tanpa proses kreasi tesa-antitesa-sintesa, tanpa pembaharuan. Secara psikologis, ini akan menghambat tumbuh kembangnya cara berfikir kreatif dan inovatif. Saya tidak sampai hati mengatakan hal ini akan “menurunkan IQ kampus”. Namun jika modelnya begini, saya khawatir justru masyarakat sendiri yang akan mengeluarkan kata-kata itu. Respek dan harapan masyarakat terhadap perguruan tinggi akan terjun bebas secara dramatis.
Saya pribadi, sejujurnya, sudah hampir memandang perguruan tinggi hanya sebagai tempat untuk mencari ijasah. Selebihnya saya bisa dapatkan di tempat lain, termasuk ilmu pengetahuan yang sudah sangat melimpah (abundance) dalam dunia digital. Atmosfer perguruan tinggi hari ini sudah tidak lagi menarik bagi orang-orang berjiwa aktivis-transformatif sebagaimana dulu, bahkan jika dibandingkan dengan saat Orde Baru, dinamikanya seperti bumi dan langit.
Orang seperti Prof Suteki seharusnya menjadi pemantik bagi kebangkitan peran intelektual di dunia Perguruan Tinggi. Sejujurnya saya iri dengan Prof Suteki, karena rupanya beliaulah yang dipilih oleh Tuhan sebagai “pemberi peringatan” kepada kaum yang belum tercerahkan, yang sesungguhnya ini merupakan peran suci profetik, fungsi kenabian.[]