Prof. Suteki: Dalam Demokrasi Tidak Ada Halal Haram, Tidak Tepat Diterapkan di Indonesia

Mediaumat.news – Pakar Sosiologi Hukum Masyarakat Prof. Dr. Suteki, SH., M.Hum. mengatakan dalam negara demokrasi urusan halal haram itu tidak ada sehingga tidak tepat diterapkan di Indonesia yang berdasar atas Ketuhanan yang Maha Esa.

“Dalam negara demokrasi urusan halal haram itu kan tidak ada, maka kayak Indonesia ini kan tidak boleh, mestinya kalau ini tetap menggunakan demokrasi, berlepas diri dengan apa yang kita sebut religion nation state karena di pasal 29 ayat 1 itu disebutkan bahwa negara berdasar atas Ketuhanan yang Maha Esa,” ujarnya dalam acara Diskusi Online: How Democracies Die, Ahad (6/12/2020) di kanal YouTube Media Umat.

Menurutnya, sistem pemerintahan yang berdasarkan akal budi atau bikinan manusia tentu akan menemui hambatan-hambatan dan keterbatasan. Sebagaimana demokrasi yang hanya berdasarkan angka-angka artinya ukuran kebenaran dalam demokrasi adalah berdasarkan mayoritas bukan kebenaran moral atau agama.

Di Indonesia kebenaran mayoritas dalam nilai demokrasi yang diwakili olah DPR ternyata hanya sebagai stempel pemerintah saja.  “Contoh UU Omnibus Law Cipta Kerja yang diajukan pemerintah dalam hal ini DPR, itu saya melihat DPR hanya sebagai tukang stempel saja,” katanya.

Di rezim ini, ia melihat, hampir segala kekuatan, kekuasaan, dan pengaruh itu dimiliki pemerintah. Ini berbahaya ketika pemerintah dan legislator itu sama (seiya sekata) kemudian digabung dengan pengusaha, maka inilah yang disebut oligarki.

Prof. Suteki membeberkan fakta yang ditemukan oleh KPK bahwa 82 persen pilkada itu dibiayai oleh cukong atau pengusaha maka yang terjadi hukum bisa dikendalikan dan akhirnya demokrasi juga akan dikendalikan, ujung-ujungnya negara rusak karena tidak dikendalikan oleh ahlinya.

Melihat fakta yang sudah ada sejak kemerdekaan, ia menilai demokrasi terpimpin atau ada yang mengatakan demokrasi Pancasila yang diterapkan di Indonesia telah mengalami beberapa pembelokan. Pernah ke arah sosialis komunis dan pernah ke arah liberal kapitalistik. Maka berdasarkan pada aspek ideologi yang membingkai sebuah sistem pemerintahan ternyata Pancasila sendiri bisa diisi dengan berbagai materi yang ada.

“Jadi Pancasila itu bisa sangat kapitalis bisa sangat sosialis komunis, itu fakta. Nah, yang belum diisikan bagaimana Pancasila itu diisi dengan nilai-nilai keislaman. Itu yang saya kira boleh saja ditawarkan, tapi kalau tawaran saja sudah dianggap kritik yang mengancam ini sebagai salah satu tanda demokrasi akan hancur atau mati,” pungkasnya.[] Agung Sumartono

Share artikel ini: