Prof. Suteki Beri Rapor Merah Jokowi di Bidang Hukum 2020

Mediaumat.news – Menanggapi kinerja Kabinet Indonesia Maju pemerintahan Jokowi-Ma’ruf periode kedua tahun 2020, Pakar Hukum Masyarakat Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum., memberi nilai rapor merah di bidang hukum.

“Kenapa saya memberi nilai rapor merah kabinet Indonesia Maju periode kedua tahun 2020 ini terutama di bidang hukum? Ada tiga alasan mengapa saya menilai bahwa rapornya itu merah,” tuturnya dalam acara Diskusi Online:”2020, Rapor Merah Jokowi?” Ahad (27/12/2020) di kanal YouTube Media Umat.

Pertama, selama setahun pemerintahan Jokowi-Ma’ruf, ia tidak melihat dengan jelas kemajuan yang berarti dari proses hukum. Menurutnya, proses hukum itu ada dua hal yaitu perihal pembentukan hukum dan juga penegakan hukum. “Kemajuan penegakan hukum yang bisa dikatakan baik itu hanya terwujud jika Indonesia mampu menerapkan hukum dan menyelenggarakan pemerintahan itu bebas dari pengaruh asing dan aseng,” ujarnya.

Ia mengatakan bahwa dalam pembentukan hukum termasuk juga penegakan hukum di negeri ini belum mandiri. “Seperti ngototnya DPR dan Presiden dalam membahas RUU Omnibus Law yang kemudian menjadi UU Ciptaker nomor 11 tahun 2020 di tengah penentangan rakyat. Itu menjadi penanda bahwa pengelolaan hukum dan pemerintahan itu belum mandiri. Belum terbebas dari belenggu swasta dan asing,” ungkapnya.

Menurutnya, penegakan hukum saat ini tidak mempunyai standar yang jelas. “Saya mengatakan SSK (suka-suka kami) dalam menegakkan hukum yaitu aparat penegak hukum sendiri. Kalau kita lihat di era sekarang hukum kita ini enggak jelas. Standarnya bagaimana? Hukum bisa dibilang suka-suka aparat penegak hukum. Mau menangkap, mau menahan, mau meluluskan penangguhan penahanan atau apalah semua itu tergantung kehendak hati aparat,” ujarnya.

“Seperti pembakar gedung Kejaksaan Agung dan Gus Nur sama-sama mengajukan penangguhan penahanan. Tetapi, pembakar gedung kejaksaan diberi penangguhan penahanan sedangkan Gus Nur tidak dikasih penangguhan penahanan,” imbuhnya.

Lalu, kasus HRS, menurutnya itu bertentangan dengan putusan MK nomor 7 tahun 2009 terkait dengan perubahan delik semula formal menjadi materiil. “Dan juga putusan MK nomor 21 tahun 2014 terkait bahwa pemeriksaan calon tersangka itu harus dilakukan sebelum ada penetapan sebagai tersangka,” ujarnya.

Selain itu, ia menilai penegakan hukum saat ini ada brutality of law enforcement yakni penegakan hukum yang brutal. “Penanganan kasus Novel Baswedan, kasus HRS dan terbunuhnya laskar FPI secara extrajudicial killing. Ini memberi sinyal bagi kita seolah-olah negara di atas segalanya. Seperti yang dikatakan Presiden bahwa “negara enggak boleh kalah” ditambah lagi “aparat itu dilindungi hukum”. Ketika ini ditafsirkan lain di dalam implementasinya, yang terjadi brutality of law enforcement,” bebernya.

Kedua, ia menilai penegakan hukum semakin ambyar dengan adanya fenomena tebang pilih. “Seperti kasus kerumunan HRS dibandingkan dengan kerumunan Pilkada. Kalau kita ngomong pelanggaran prokes. Semua melanggar prokes,” ungkapnya.

“Kemudian, kriminalisasi ulama yang kritis. Pada kasus HRS, ada dua putusan MK yang dilanggar. Itu berarti terjadi kriminalisasi. Yang sebenarnya tidak perlu dijerat dengan pasal itu tapi dengan penafsiran yang berbeda dan justru bertentangan dengan putusan MK maka seseorang yakni HRS justru dijerat hukum. Ini namanya kriminalisasi. Saya mengatakan penegakan hukum kita terjadi diskresi yang luas tetapi diskriminatif. Intinya di situ,” tambahnya.

Selain itu, ia mengatakan ada abuse of power. “Sampai terjadi misalnya namanya surveillance itu kemudian menjadi ajang untuk “membunuh” sampai terjadi pembunuhan. Bahkan dikatakan extrajudicial killing. Itu juga nampak sekali ada abuse of power. Termasuk TNI kok menurunkan baliho. Itu abuse of power. Penyalagunaan wewenang di situ,” ujarnya.

Ketiga, hubungan rakyat dan pemerintah saat ini sudah mengalami titik nadir bahkan bisa dikatakan defisit kepercayaan atau bahkan zero trust society. Kenapa? “Karena kita memang berada di tengah otoritarianisme dan oligarki korporasi,” ungkapnya.

Ia menilai mestinya dalam demokrasi itu persoalan trust itu jadi hal yang utama. Ketika trust itu menjadi runtuh dan turun maka pasti akan merusak demokrasi itu sendiri. “Keterlibatan oligarki khususnya cukong-cukong dalam kekuasaan itu jelas ada dan tidak diragukan lagi karena yang ngomong Menkopolhukam sendiri bahwa 92 persen pilkada itu didanai oleh cukong sementara KPK menyebut sekitar 82 persen didanai cukong,” pungkasnya.[] Achmad Mu’it

Share artikel ini: