Prof. Suteki: “Aneh, JKDN Dipersoalkan Drama Korea Diagung-agungkan”

 Mediaumat.news – Pernyataan Wapres Makruf Amin yang menyebut ‘maraknya budaya K-Pop dan drama Korea diharapkan dapat menginspirasi munculnya kreativitas anak muda Indonesia’ mendapatkan kritik Guru Besar Fakultas Hukum Undip Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum.

“Aneh bangsa ini, film Jejak Khilafah di Nusantara (JKdN) yang jelas menyajikan data sejarah yang berkorelasi dengan perkembangan nasionalisme hingga kemerdekaan Indonesia dipersoalkan, sedang film dan drama Jejak Korea di Indonesia (100 tahun) yang tidak banyak pengaruhnya dalam pembentukan nasionalisme dan kemerdekaan Indonesia diagung-agungkan. Coba kita berpikir, mana jejak yang lebih sesuai dengan sejarah dan masa depan Indonesia?” tulis Suteki, Senin (21/9/2020) di akun Facebook pribadinya Steven Suteki.

Menurutnya, jejak khilafah dan jejak bangsa Korea memang ada di Indonesa. Namun hendaknya arif dan bijaksana dalam mendukung serta memanfaatkan jejak itu untuk perkembangan negeri ini menjadi lebih baik.

“Jika mengagungkan jejak Korea kenapa harus mengaburkan dan menguburkan jejak khilafah? Jika mendukung film dan drama Korea kenapa harus menge-banned film JKDN. Why?” tanyanya.

Berkaca pada Sejarah 

Menurut Suteki, bangsa ini mayoritas berpenduduk Muslim. Hampir mendekati 90%. Namun, aneh sekali ketika penduduk terbesar menginginkan agar hukumnya dijadikan dasar berhukum di negerinya, spontan banyak pihak bahkan dari kalangan Muslim sendiri buru-buru menolaknya.

“Mengapa hal ini bisa terjadi? Boleh jadi memang mereka belum paham. Banyak orang yang menyatakan bahwa Indonesia itu pluralitasnya tinggi dalam SARA, mana mungkin bisa diterapkan hukum Islam?” ungkapnya.

Bila berkaca pada sejarah, ketika hukum Islam yang notabene bersumber dari hukum Allah diterapkan tidak ada penduduk non Muslim yang dianiaya. Semua dilindungi bahkan ketika daulah Islam pertama kali ditegakkan di Madinah, sebagian besar penduduk Madinah itu belum masuk Islam (non Muslim). Maka lahirlah Piagam Madinah Tahun 622 Masehi yang dikenal sebagai konstitusi pertama kali di dunia yang berisi kesepakatan antara Rasulullah SAW dengan penduduk Non Muslim.

“Sebaliknya, Anda mungkin juga sudah membaca bagaimana nasib penduduk Muslim ketika Spanyol (Andalusia) dikuasai oleh kelompok non Muslim. Penduduk Muslim dipaksa untuk memeluk agamanya dan kalau tidak mau maka mereka dibunuh. Mana yang lebih humanis? Jadi, jika kita melek sejarah, maka kita akan memahami, hukum mana yang lebih baik dan hukum serta jejak mana yang seharusnya ditahbiskan di bumi Indonesia ini,” pungkasnya.[] Joko Prasetyo

Share artikel ini: