Mediaumat.id – Pengamat Kebijakan Publik Prof. Dr. Ichsanuddin Noorsy mengungkapkan, pasca-kemerdekaan, penindasan oleh korporasi atas Indonesia sudah terjadi sejak Perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) ditandatangani.
“Sebelum reformasi berlangsung, Indonesia sudah ditindas oleh korporasi. Bahkan jauh sebelumnya. Kapan ditindasnya pertama kali? KMB 27 Desember 1949,” ujarnya dalam Fokus: Oligarki Makin Mengancam, Ahad (19/6/2022) di kanal YouTube UIY Official.
Ketika itu, sambung Prof. Noorsy, Indonesia memang dipaksa menandatangani Perjanjian KMB. Padahal, sebagaimana diketahui, isinya lebih menguntungkan Belanda. “Maka Indonesia sesungguhnya menerima tiga hal,” sebutnya.
Pertama, utang Belanda yang secara otomatis menjadi beban Indonesia. “Padahal uang itu dipakai untuk memerangi Indonesia, dan basisnya riba,” ucapnya menyayangkan.
Kedua, dipaksa untuk masuk ke sistem riba lebih dalam lagi dengan menjadi anggota IMF. “Organisasi internasional yang menangani masalah keuangan dengan mekanisme penyaluran utang berbunga,” bebernya.
Ketiga, membenarkan keberadaan perusahaan-perusahaan asing untuk tetap beroperasi di Indonesia. “Dari situ, oligarki berperan. Dari situ corporate capitalism tetap berjaya,” tandasnya.
Semakin tampak, ketika publik menyaksikan pergumulan ekonomi di Indonesia setelah itu.
Sebutlah di era pemerintahan Sukarno. Presiden pertama Indonesia tersebut mulai membatalkan Perjanjian KMB pada tahun 1956 secara sepihak, dengan salah satu upayanya menasionalisasi sejumlah perusahaan asing.
Kecuali, lanjutnya, dua perusahaan minyak besar asal Amerika yang beroperasi di Indonesia kala itu. Dikarenakan tawaran sistem bagi hasil yang dirasa lebih menguntungkan Indonesia.
Yaitu, Standard Oil milik Rockefeller: Stanvac (patungan Standard Oil of New Jersey dan Socony Mobil – Socony kependekan dari Standard Oil of New York), dan Caltex (patungan Standard Oil of California dan Texaco).
Ditambah dengan diterbitkannya UU Investasi pada 23 Agustus 1965. Alih-alih terjadi kestabilan ekonomi, justru menjadi berantakan enggak karu-karuan.
Akhirnya, KMB dihidupkan kembali di era Suharto pada tahun 1968. “Muncullah istilah IGGI dan CGI,” timpalnya.
Perlu diketahui, IGGI (Intergovernmental Group on Indonesia), adalah kelompok internasional antarpemerintah yang didirikan pada tahun 1967, diprakarsai oleh Amerika Serikat untuk mengoordinasikan dana bantuan multilateral kepada Indonesia.
Namun dengan alasan tertentu, bergantilah menjadi CGI (Consultative Group on Indonesia), yang terdiri dari 21 negara dan 13 lembaga, serta mempunyai tujuan tetap yakni memberikan bantuan modal dalam rangka pembangunan ekonomi untuk berbagai proyek di Indonesia.
“Dari situ Indonesia masuk ke kekuatan corporate capitalism. Sudah terjebak langsung,” tegasnya.
Sementara, imbuhnya, kondisi itu makin nyata seiring lahirnya UU No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing dan UU No. 6/1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. Termasuk di dalamnya, UU Perbankan dan Bank Sentral. “Poinnya tadi, korporatokrasi,” tegasnya kembali.
Ia mengulas, walau Suharto sendiri mengatakan tidak boleh, sehingga meminta para konglomerat agar membagikan sebagian sahamnya ke koperasi, tetapi hal itu justru menimbulkan kemarahan kelompok konglomerat yang kemudian dikenal dengan Kelompok Jimbaran, kartel bisnis yang menjelma menjadi konsorsium politik di akhir tahun 80-an.
Sampai pada satu titik, Suharto sendiri, menurut Noorsy, juga salah langkah dengan membenarkan paket kebijakan paling fenomenal, yakni paket kebijakan 27 Oktober 1988 atau Pakto 88, yang membabat habis aturan yang menyulitkan pendirian bank.
Kudeta Ekonomi
“Di dalamnya ternyata di situ sebenarnya kudeta ekonomi, korporasi lewat perbankan,” timpalnya, seraya menyebutkan hal lebih gila lagi tentang krisis keuangan 1997-1998.
Mereka yang terkena penyakit pada krisis keuangan ketika itu, kata Prof. Noorsy, justru adalah penguasa dan oligarki sekarang ini. “Mereka adalah oligarki bisnis sekarang ini,” ucapnya.
Lantas diikuti kekuatan asing yang lebih dalam lagi. Indikasinya, pemberian kekuasaan perbankan kepada swasta nasional yang mereka sebut pencampuran asing, yang ternyata lebih banyak orang asing daripada domestiknya.
Artinya, meski perusahaan selevel BUMN sekalipun, para pemegang sahamnya didominasi pemain asing yang telah menguasai di bidangnya.
Apalagi terkait utang. “Jumlah utang BUMN khususnya BUMN keuangan terus meningkat,” ungkapnya menyinggung PT Bank Mandiri Tbk, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI), dan PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) yang sudah terjerat utang negara Cina.
Anehnya, utang tersebut tidak dimasukkan dalam utang luar negeri pemerintah. Tetapi utang korporasi. “Padahal korporasinya milik BUMN. Padahal BUMN terus meningkat utangnya,” sambungnya.
Belum lagi, konsesi-konsesi yang banyak dipegang swasta. Pertambangan, perkebunan, serta infrastruktur berupa bandara dan jalan tol misalnya.
“Bukan hanya batu bara. Termasuk nikel, emas, semuanya begitu (dikuasai swasta),” tambahnya.
Mengenai perkebunan, terangnya, PTPN memiliki sekitar 24 juta hektare lahan sawit. Tetapi yang dikuasai swasta tak kurang dari delapan puluh sekian persen.
“Tentu saja ini menjadi sumber, katakan cuan, yang paling nikmat sekarang ini kan dua. Batu bara dan sawit,” tandasnya.
BLBI
Kasus BLBI pun demikian. Kasus yang lahir dari dampak krisis moneter yang terjadi pada 1998 itu, menurut Prof. Noorsy, juga menggambarkan kinerja oligarki yang efisien namun bisa mendapatkan keuntungan hingga berkali lipat.
Bermula dari upaya pemerintah menyelamatkan perekonomian Tanah Air dari melemahnya rupiah ke level Rp15.000 per dolar Amerika kala itu.
Di antaranya mark down, dengan menaikkan beban habis-habisan. “Butuhnya sepuluh, mintanya seratus,” misalnya mengawali kronologi terkait kasus BLBI.
Pasca jatuhnya bank, lantas diikuti penyerahan aset, sepuluh yang dianggap seratus tadi (mark up). Hingga ketika dibeli kembali dengan perusahaan cangkang, karena memang ketentuannya tidak boleh membeli bank kembali, mereka datang dari mana-mana seolah orang asing padahal mereka sendiri.
“Bagaimana caranya? Mereka mengambil dengan harga serendah-rendahnya,” jelasnya.
Tetapi yang paling menarik menurutnya adalah mereka ternyata tidak menggunakan uang sendiri. “Mereka ambil perbankan dalam negeri, swasta nasional untuk membeli,” tukasnya.
Padahal belum tentu asetnya net and clean. “Sampai di situ mereka bisa dapetin lagi lalu mereka pilah-pilah lagi, lalu mereka kelola lagi sendiri,” bebernya.
Menurutnya lagi, rekapitalisasi perbankan ketika itu jumlahnya Rp430,422 triliun. “Anda tahu berapa sekarang yang ditanggung oleh masyarakat? Rp670 triliun,” urainya.
Sehingga, tambah Prof. Noorsy, masyarakat saat ini menanggung beban bunganya saja, sekitar 60-70 triliun rupiah per tahun. Yang dalam perhitungan pokoknya, dijadwalkan selesai di 2040. “Tetapi apakah pokoknya bisa dibayar pada 2040? Wallahu alam bis shawab,” ucapnya.
Secara sekarang pula, kata Prof. Noorsy berikutnya, lahirlah stagflasi. Yakni keadaan inflasi yang sangat tinggi dan berkepanjangan, sekaligus ditandai macetnya kegiatan perekonomian.
Dengan kata lain, daya beli masyarakat terpukul. Karena kebijakannya memang memperkaya orang kaya.
“Kenapa bisa begitu? Kan kalau inflasi berarti banyak uang yang beredar. Kenaikan harga-harga. Tetapi uang di masyarakat enggak ada,” pungkasnya, sembari mengatakan kondisi demikian makin memprihatinkan sejak peristiwa menyebarnya covid-19.[] Zainul Krian