Mediaumat.id – Peneliti Senior Prof. Dr. Ing. H Fahmi Amhar menilai riset Indonesia masih sangat ketinggalan.
“Terkait riset secara umum Indonesia masih sangat kedodoran, sangat ketinggalan, karena riset ini baik di tataran atas di tingkat elit kekuasaan maupun di kalangan bawah itu belum diperhitungkan,” ungkapnya di acara Kabar Petang: Riset Negeri Bisa Melesat dan Bermanfaat, Ini Caranya, Sabtu (16/7/2022) melalui kanal Youtube Khilafah News.
Hadirnya Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dikatakan Fahmi sebagai salah satu ikhtiar mengatasi ini, meski masih banyak pekerjaan rumah, karena para peneliti kurang mendapat tantangan, penelitian pun bukan hal yang ditunggu-tunggu. “Sehingga BRIN ketika membuat sasaran yang cukup menantang, di saat yang sama juga mencoba mengoptimalkan riset yang ada masih menghadapi banyak persoalan,” terangnya.
Riset Militer
Terkait riset militer, Fahmi mengatakan riset militer ini special case (kasus istimewa). “Di dunia ini riset militer itu sering dicurigai sebagai cara untuk membangkitkan kedaulatan sebuah negara. Pada saat yang sama juga dicurigai oleh negara-negara asing. Ini adalah salah satu cara untuk mengubah konstelasi, hegemoni di suatu area,” ucapnya.
“Yang saya tahu riset-riset militer ini agak dikecualikan di dalam negeri. Bahkan pada waktu integrasi semua penelitian, semua litbang ke dalam BRIN itu ada resistensi dari kementerian terkait dengan pertahanan, apakah itu dari Hankam, dari TNI maupun dari BNPT,” urainya.
Apalagi, kata Fahmi, sasaran utama BRIN lebih kepada hak paten kekayaan intelektual dan publikasi ilmiah. “Sementara kalau riset dalam dunia pertahanan kita sering merahasiakan,” imbuhnya.
Peduli
Fahmi menuturkan, untuk bisa menumbuhkembangkan lahirnya para ilmuwan muda yang peduli terhadap negeri butuh kerja sama di seluruh level politik agar menghargai riset serta memberikan anggaran cukup untuk melakukan riset. “Demikian pula di level masyarakat, level sekolah juga harus peduli riset,” tandasnya.
Di samping itu, Fahmi juga mengatakan bahwa persoalan riset itu macam-macam. Di tataran penelitinya, harus membangkitkan motivasi mereka, etos kerja mereka serta profesionalisme mereka.
Ada juga yang di tataran lingkungan. “Bagaimana peneliti itu akan termotivasi kalau ia melihat orang bisa dengan mudah dapat banyak uang dengan jadi influencer, tiktoker, youtuber. Kenapa susah-susah jadi profesor, doktor, sedang mereka yang jadi youtuber itu lebih cepat kaya. Ini juga satu hal yang perlu dikondisikan,” ingatnya.
Pengondisian ini, dinilai Fahmi menjadi tanggung jawab bersama termasuk para ustaz dan para ulama. “Kalau ulamanya anti sains repot juga, saintis dimusuhi terus, dianggap anti-syariahlah, dianggap menistakan agama, hanya gara-gara mereka enggak paham yang diomongin itu apa,” tukasnya.
“Ini tugas kita bersama. Pemerintah harus memberikan ekosistem yang kondusif dari segi aturan main, dari segi orang-orangnya, dari segi dananya itu negara harus siap,” imbuhnya.
Fahmi mengingatkan, jangan sampai peneliti-peneliti yang jenius yang produktif malah dimusuhi dengan alasan radikalisme. “Di sisi lain juga jangan sampai karena ingin mengintegrasikan riset, para peneliti malah tidak produktif. Seperti di BRIN ini sekarang banyak yang tidak produktif karena aturan mainnya berubah, semua disatukan,” nilainya.
Surga Neraka
Fahmi mengatakan, riset itu bukan cuma soal metode ilmiah, bukan cuma soal dana atau nanti hasilnya menjadi kekayaan intelektual, tapi juga persoalan surga neraka. Ia memberikan alasan motivasi yang paling kuat dalam melakukan riset adalah motivasi spiritual, motivasinya untuk ibadah.
“Bahwa saya akan melakukan riset yang baik yang akan menghasilkan sebuah pengungkapan rahasia alam semesta ini, agar kehidupan manusia lebih baik, agar manusia lebih mengenal Tuhannya, agar manusia lebih memberi manfaat untuk sesama,” terangnya.
Dengan motivasi spiritual itu, lanjutnya, peneliti melakukan riset dengan jujur, dengan amanah dengan hemat sumber daya, dengan komitmen yang kuat untuk menyumbangkan hasilnya bagi kemanusiaan.
Ia mengingatkan agar tidak ‘membunuh’ periset. “Banyak hal yang menyebabkan seorang periset itu mati berkali-kali. Kenapa? meskipun dia dihargai sebagai seorang ilmuwan tetapi ketika hasil karyanya tidak digunakan itu pada hakikatnya dia telah dibunuh,” jelasnya.
“Kita ingin para ilmuwan kita, para peneliti kita itu memberikan yang terbaik. Tidak hanya bagi Indonesia tapi juga bagi seluruh dunia, karena Islam itu (terutama para peneliti Muslim) rahmatan lil ‘alamin,” tandasnya.
Fahmi mencontohkan penggunaan aljabar karya Al-Khawarizmi, penggunaan teknik optika karya Hasan Ibn Al-Haitsam, itu otomatis mengalirkan pahala. “Apa kita enggak ingin seperti itu? Jadi amal jariah itu tidak hanya terkait dengan ilmu-ilmu Islam, tapi terkait dengan semua ilmu selama itu memberikan manfaat,” jelasnya.
“Mudah-mudahan ini dimengerti oleh para ilmuwan itu sendiri juga dimengerti oleh para tokoh, dan yang lain sehingga mereka bisa menjadikan iklim riset di Indonesia itu semakin sehat,” harapnya memungkasi penuturan.[] Irianti Aminatun