Mediaumat.id – Peneliti Utama bidang Informasi dan Spasial sekaligus Alumnus Vienna University of Technology Profesor Fahmi Amhar menyatakan krisis iklim itu nyata adanya.
“Ancaman terhadap perubahan iklim atau krisis iklim itu nyata ya. Dan Indonesia juga merupakan salah satu negara yang mengalami krisis iklim,” ulasnya dalam Kabar Petang: Krisis Iklim, Mitos? Di kanal YouTube Khilafah News, Selasa (7/2/2023).
Prof. Fahmi menjelaskan adanya krisis iklim saat ini oleh para ahli disebut sebagai antropogenik atau antroposen adalah karena perilaku manusia. Hal ini teramati secara yakin karena manusia di zaman modern sudah memiliki sensor yang dipasang baik di darat, laut, maupun antariksa. “Ini beda dengan krisis iklim yang terjadi pada 10.000 tahun lalu itu bukan antropogenik. Itu terjadi karena aktivitas vulkanik yang luar biasa di muka bumi sehingga timbul krisis iklim,” ucapnya.
Adanya kenaikan rata-rata suhu permukaan bumi menurutnya juga nyata. Manusia, lanjutnya juga sudah melakukan pengukuran di berbagai tempat di muka bumi seperti di Kutub Utara, Kutub Selatan, dan gletser di puncak-puncak gunung termasuk di Pegunungan Jayawijaya, Papua. “Sekarang gletser di puncak gunung maupun di kutub itu sudah mencair dan sebenarnya hanya memberi dampak 3 persen pada volume laut global. Tapi persoalannya bukan itu,” cetusnya.
Persoalan yang dimaksud olehnya adalah adanya perubahan iklim yang membuat curah hujan semakin sering terjadi di saat yang pendek. “Jadi curah hujannya mungkin sama, tapi dulu hujannya berhari-hari dan terbagi rata. Sekarang hujannya di saat yang pendek dan ini membuat lebih sering terjadi bencana termasuk bencana cuaca ekstrem karena adanya perubahan iklim,” ujarnya.
Prof. Fahmi mengungkap, perubahan iklim ini sifatnya global termasuk dampak perubahan iklim yang terjadi di Indonesia itu bukan karena perbuatan orang di Indonesia saja. “Kemungkinan ini perbuatan orang di Amerika dan negara-negara maju lainnya. Perubahan iklim antropogenik ini diidentifikasi akibat kenaikan CO2 di atmosfer yang signifikan,” tuturnya.
Menurutnya, CO2 keluar dari pembakaran karbohidrat pada bahan bakar fosil seperti batu bara, minyak, dan gas alam. Pembakaran ini paling banyak terjadi setelah revolusi industri atau setelah abad 19. “Pembakaran CO2 semakin meningkat sejalan pertumbuhan manusia dan ekonomi yang semakin pesat di negara-negara maju yang bisa 100 atau 200 kali dibanding negara-negara berkembang,” jelasnya.
Mengatasi Krisis Iklim
Prof. Fahmi menjelaskan, untuk mengatasi krisis iklim ini perlu sinergi berbagai pihak termasuk berbagai negara karena sifatnya yang global. “Tidak bisa masing-masing negara tapi harus bersama-sama mengatasi krisis iklim ini. Bahkan PBB untuk mengatasi masalah iklim ini membentuk suatu badan tersendiri yaitu UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change). Walau mungkin juga tidak bisa berharap banyak untuk solusi tuntasnya,” paparnya.
Secara paradigma, menurut Prof. Fahmi, untuk mengatasi krisis iklim ini harus ada perubahan pandangan tentang kualitas hidup yang saat ini dinilai dengan cara kapitalis termasuk dengan penggunaan energi. “Paradigma kualitas hidup ala kapitalis yang mendewakan materi sudah keliru dari awal. Sebagai seorang Muslim harus mempunyai paradigma bahwa kebahagiaan bukan sekadar dari pemenuhan kebutuhan materi. Kebahagiaan yang seharusnya diraih adalah melaksanakan hukum syara untuk mencapai ridha Allah,” urainya.
Selain itu, ia juga mengingatkan, orang Islam harus menunjukkan umat Islam itu satu yang tidak tersekat-sekat nasionalisme. “Nasionalisme itu jahat banget yang membuat masing-masing negeri Muslim bersikap bodo amat dan merasa bukan urusan negaranya. Makanya nasionalisme itu gagal menghadapi perubahan iklim,” pungkasnya.[] Erlina