Mediaumat.id – Anggota Ikatan Alumni Program Habibie serta Alumnus Vienna University of Technology Austria Profesor Fahmi Amhar memberikan catatan awal tahun tentang penelitian di Indonesia untuk melihat bagaimana negeri ini membangun budaya penelitian yang produktif.
“Ada catatan awal tahun tentang penelitian di negeri ini sehingga kita bisa melihat bagaimana negeri ini membangun budaya penelitian yang produktif. Yaitu budaya penelitian yang bukan sembarang untuk kehidupan manusia,” tuturnya dalam Catatan Awal Tahun 2023, Profesor Membangun Negeri di kanal YouTube PAKTA Channel (Pusat Analisis Kebijakan Strategis), Sabtu (21/1/2023).
Prof. Fahmi mengawali catatan awal tahunnya tentang sebuah prediksi bencana yang menjadi semacam pertaruhan reputasi antara peneliti iklim dan atmosfir di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Seorang peneliti BRIN Erma Yulihastin pada akhir tahun 2022 menyampaikan prediksi akan terjadi badai di Teluk Jakarta pada tanggal 28 Desember 2022 namun ternyata prediksi tersebut tidak terjadi. Diketahui pula bahwa BMKG pada tanggal 31 Desember 2022 menaburkan garam di atmosfer sehingga hujan turun di laut.
Prof. Fahmi menilai, ini adalah persoalan prediksi bencana, riset, dan otoritas. Jika masyarakat sudah tidak percaya maka orang akan bertanya untuk apa ada prediksi bencana jika tidak terjadi.
Menurut Prof. Fahmi, yang memiliki kemampuan mengintegrasi terkait cuaca, iklim, dan atau gempa serta memiliki otoritas menyampaikan prediksinya adalah BMKG bukan Lembaga Pusat Riset BRIN.
“Penyampaian prediksi cuaca dan bencana seharusnya melalui lembaga yang ditunjuk, dalam hal ini BMKG sehingga memiliki otoritas menyampaikan prediksinya. Jika tidak memiliki kekuasaan dan hanya sebagai periset maka otoritasnya hanya di bidang ilmiah dan komunitasnya saja,” imbuhya.
Prof. Fahmi menyampaikan, sudah saatnya menempatkan riset dan para periset di tempat terhormat. Otoritas jika tanpa kebenaran akan menjadi otoriter. Keadaan ini akan menjadi serba terbelah, bahkan di pemerintah.
“Inilah tantangan bagi ilmuwan hari ini. Ilmuwan yang mendahulukan takwa dan berani menyampaikan ke penguasa yang buruk dan zalim. Mereka tidak cukup hanya mengumpulkan jurnal yang terindeks global dengan reputasi tinggi namun harus menyampaikan hasil penelitiannya baik ke penguasa maupun ke publik dengan bahasa yang bijak,” terangnya.
Sains dan Islam
Suatu penelitian, menurut Prof. Fahmi, ada dua macam. Pertama, penelitiannya benar atau salah. “Jika suatu penelitian benar dan salah maka jelas yang diambil adalah penelitian yang benar. Jika belum tahu mana yang benar dan mana yang salah, maka ambil yang ada manfaatnya,” ucapnya.
Kedua, penelitiannya sama-sama benar atau sama-sama salah. “Jika penelitiaanya sama-sama benar, ambil penelitian yang lebih bermanfaat. Sedangkan jika sama-sama salah, maka ambil yang mudharatnya paling sedikit,” ujarnya.
Teknologi dan sains, lanjutnya, jika tidak dibangun atas dasar akidah Islam pasti akan punya masalah di kemudian hari. Dalam Islam ada banyak sekali hal-hal yang diperintahkan oleh syariat karena syariat Islam sendiri sains dan teknologi. Contoh kebutuhan sain dan teknologi adalah sholat, penentuan arah kiblat, waktu sholat, alat untuk membersihkan najis, mengumumkan shlat, penyediaan air wudhu, dll.
“Alangkah naifnya jika ada orang Islam yang tidak mau belajar sains dengan alasan di alam kubur tidak akan ditanya matematika, fisika, biologi, atau ilmu sains lainnya,” ujarnya.
Prof. Fahmi menegaskan, selama sains dan teknologi itu dikembangkan bukan di atas dasar Islam dan oleh orang-orang Islam, maka sains dan teknologi itu cenderung dipakai untuk menjajah.
“Jadi umat Islam selama tidak menguasai sains dan teknologi cenderung untuk terjajah. Umat Islam harus mengambil langkah aktif mengembangkan sains dan teknologi di atas dasar akidah Islam agar umat Islam tidak akan terjajah dan justru akan membebaskan dunia dari penjajahan. Allah Akbar!” tutupnya.[] Erlina