Prof. Dr.-Ing Fahmi Amhar: Ijazah itu Ada Sejarahnya

Mediaumat.id – “Ijazah itu ada sejarahnya,” ungkap Intelektual Muslim Prof. Dr.-Ing Fahmi Amhar di acara Perspektif PKAD – Menaker: Ijazah Bukan Hal Penting, Sekolah & Universitas Dapat Dibubarkan?! melalui kanal YouTube Pusat Kajian dan Analisis Data, Kamis (20/10/2022).
Menurut Fahmi, dulu orang kalau belajar aslinya tidak ada ijazah, tapi mereka diuji secara terbuka di depan teman-teman dan gurunya.
“Kalau memang kompeten ia diberi gelar faqih. Tapi orang tidak hanya beredar di seputar lingkungannya, ia pergi ke tempat lain yang orang tidak kenal sama guru dia. Agar supaya jelas kompetensi orang tadi dibikinlah ijazah yang menunjukkan bahwa yang bersangkutan sudah pernah mengikuti sebuah proses pembelajaran dan lulus,” urainya.
Bahkan sambung Fahmi, untuk ilmu fikih, ilmu hadis, hafalan Al-Qur’an itu ada sanadnya. “Tapi kalau ilmu-ilmu dunia seperti fisika, tidak harus ada sanadnya karena bisa dicoba dengan eksperimen,” cetusnya.
Fahmi lalu mencontohkan, bikin jembatan misalnya, sekalipun gurunya tidak jelas tapi bisa dites bikin jembatan. Kalau jembatan yang dibikinnya itu dilewati truk gandeng yang besar tidak roboh berarti sudah kompeten.
Fahmi menyesalkan kedudukan ijazah saat ini mulai luntur ketika sekolah ‘dipaksa’ lulus sehingga nilai ijazah kadang tidak mencerminkan kompetensi sesungguhnya. “Nilai bahasa Inggris 90 tapi bukan jaminan dia bisa ngomong bahasa Inggris,” jelasnya memberikan contoh.
Karena realita seperti itu dibuatlah aturan sertifikasi kompetensi sebagai pendamping ijazah. “Awalnya bagus, tapi lambat laun ngawur juga, orang bisa beli sertifikasi kompetensi dan sertifikasi ini menjadi ajang bisnis,” sesalnya.
Oleh karena itu, lanjutnya, di tingkat ASEAN muncul MRI (mutual recognizing agreement). “Untuk beberapa profesi seperti perawat itu sudah ada MRI-nya,” tandasnya.
Jadi, simpul Fahmi, di dunia kerja ada semacam paralelitas. Ada yang lewat jalur sekolah ada yang lewat jalur sertifikasi kompetensi, dua-duanya diakui.
“Hanya saja kompetensi kalau tidak dipraktikkan akan hilang ilmunya, sehingga sertifikasi kompetensi ada umurnya ada yang 3 tahun, ada yang 5 tahun. Setelah habis masanya dilakukan uji kompetensi lagi. Itulah hakikat uji kompetensi,” jelasnya.
Ijazah semestinya seperti itu. “Saya kuliah S1 sampai S3 itu di luar negeri. Untuk dapat ijazah ada serangkaian uji kompetensi baik lisan atau praktik. Jadi orang dapat ijazah itu ketika dia mengumpulkan sekian banyak kompetensi, jelas dan terukur,” kisahnya.
Fahmi menyesalkan di Indonesia ijazah itu tidak mencerminkan kompetensi. Selain itu, lanjutnya, banyak ketika seseorang sudah lulus dan dapat ijazah tidak bekerja sesuai kompetensinya sehingga tidak menggambarkan kompetensi lagi. “Ini yang perlu diperhatikan,” ucapnya.
Tidak Semata Kerja
Jadi, kata Fahmi, benar bahwa untuk bekerja tidak perlu ijazah tetapi perlu bukti kompetensi, tapi harus ingat bahwa sekolah maupun kuliah tidak semata-mata untuk kerja.
“Kalau seandainya sekolah itu hanya untuk kerja maka kita bisa mengatakan bubarkan saja sekolah, kita ganti saja dengan uji kompetensi. Tapi sekolah kan enggak cuma itu, tidak cuma memupuk kemampuan untuk bekerja, tapi juga kemampuan untuk hidup, kemampuan untuk berkolaborasi, kemampuan untuk menjadi warga masyarakat yang baik. Dan itu enggak ada uji kompetensinya,” jelasnya.
Kalau proses intelektual memang uji kompetensi intelektual, tapi kalau kompetensi emosional agak susah ngukurnya, itu terujinya di tengah masyarakat. Dan semua itu dipupuk di sekolah melalui ekstrakurikuler. “Proses-proses selama di sekolah ini akan dibawa saat dia bekerja,” pungkasnya.[] Irianti Aminatun