Mediaumat.news – Di tengah peringatan Hari Kartini yang biasa dijadikan ajang promosi paham feminisme, Cendekiawan Muslim Prof. Daniel Mohammad Rosyid, Ph.D. M. RINA mengingatkan bahwa Kartini bukan penganut paham dari Barat tersebut.
“Namun segera harus diingat, bahwa Kartini bukan penganut feminisme atau emansipasi,” ujarnya kepada Mediaumat.news, Rabu (21/4/2021).
Menurutnya, banyak yang tidak menyadari bahwa pencerahan RA Kartini 100 tahun lebih silam dilakukan oleh seorang ulama karismatik asal Semarang, yaitu Kyai Sholeh Darat. Melalui kajian Al-Qur’an dalam bahasa Jawa oleh sang Kiai ini, Kartini memahami betapa Islam adalah agama yang menjunjung tinggi derajat perempuan, bahkan jauh lebih maju daripada pemikiran Barat hingga abad 20 di Inggris maupun Amerika sekalipun.
Prof. Daniel mengatakan, feminisme lahir di Barat sebagai respons sekuler melawan penindasan lelaki atas perempuan di kalangan bangsa Barat yang dengan congkaknya menyebut dirinya sebagai bangsa maju dan beradab. Hingga pertengahan kedua abad 20, kaum perempuan di Barat baru diakui memiliki hak suara dalam proses-proses politik, hak waris, dan hak atas harta yang diperoleh melalui keringatnya sendiri.
“Padahal hak-hak ini sudah dijamin Islam lebih dari seribu tahun sebelumnya,” ucapnya.
Ia menyayangkan, pencerahan Kartini dikisahkan kembali dalam wacana feminisme yang lahir jauh belakangan. Kartini tahu bahwa derajat perempuan sudah diangkat tinggi oleh Islam. Lelaki dan perempuan dalam Islam memiliki kedudukan yang sederajat, hanya berbeda tugas sesuai dengan kodrat fitrahnya masing-masing.
Menurutnya, pendidikan netral kelamin yang diwacanakan oleh kaum feminis dalam kerangka persamaan derajat, justru merugikan kaum perempuan. Konsep gender justru kabur sehingga muncul banyak perilaku seksual yang menyimpang akhir-akhir ini.
Prof. Daniel mengungkapkan, peminggiran peran perempuan sudah terjadi sejak mereka dipaksa bekerja keluar rumah di pabrik-pabrik sejak Revolusi Industri sekitar 100 tahun silam.
Sejak itu, kata Prof. Daniel, banyak anak menjadi yatim piatu secara budaya. Sebab fungsi-fungsi edukatif dan produktif dihancurkan oleh institutional-duo ini: sekolah massal paksa dan pabrik-pabrik. Sekolah merampas tugas mendidik keluarga, sementara pabrik merampas tugas-tugas produktifnya. Masyarakat dijadikan konsumen dan buruh sekaligus jika bukan jongos.
Prof. Daniel menilai, ibu adalah madrasah yang pertama dan utama. Begitulah Islam menempatkan peran penting kaum perempuan sebagai ibu. Namun dalam pandangan masyarakat industri, peran ibu rumah tangga dipandang dengan sebelah mata.
Sedangkan, ungkapnya, sekolah seharusnya hanya bersifat menambahi dan melengkapi saja, tidak menggantikan tugas pokok keluarga. Pendidikan akhlak dan adab serta keterampilan belajar dasar diajarkan oleh orang tua dalam keluarga melalui teladan hidup sehari-hari di rumah.
“Ibulah yang meneladankan tanggungjawab, pengorbanan tanpa pamrih, kesetiaan, cinta dan kasih sayang. Hanya warga muda yang hidup dalam keluarga yang sehat yang siap menghadapi masa depan,” tuturnya.
Sementara itu, kata Prof. Daniel, sekolah sejak Revolusi Industri adalah instrumen teknokratik untuk menyiapkan buruh yang cukup terampil untuk menjalankan mesin-mesin pabrik sekaligus cukup dungu untuk bekerja siang malam bagi kepentingan pemilik modal. Sedangkan rancangan dasar persekolahan massal paksa ini tidak berubah hingga hari ini. Sekolah massal paksa sejak awal tidak pernah dimaksudkan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
“Mengenang Kartini hari ini, kita perlu menguatkan keluarga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kemajemukan sederhana diakui dan diterima dalam keluarga sebagai miniatur masyarakat majemuk. Kepemimpinan dan kepengikutan awal tumbuh dalam keluarga. Tidak di tempat lain. Keluarga adalah simpul diklat multi-ranah sekaligus multi-cerdas warga muda untuk berperan dalam masyarakat yang lebih luas. Jika keluarga hancur karena ditelantarkan oleh para perempuan, nasib bangsa manapun segera dihitung mundur menuju kehancurannya,” pungkasnya.[] Agung Sumartono