Prof. Daniel: Berpolitik Praktis Tak Harus Lewat Parpol

Mediaumat.news – Cendekiawan Muslim Prof. Daniel Mohammad Rosyid, Ph.D., M.RINA menyebut berpolitik praktis bagi setiap warga negara, terutama Muslim, tidak harus lewat partai politik.

“Hemat saya, kini tiba saatnya ditegaskan bahwa berpolitik praktis bagi setiap warga negara, terutama Muslim, tidak harus lewat partai politik. Seperti belajar tidak harus di sekolah, berpolitik bisa di mana saja, kapan saja dan dengan institusi apa saja,” ujarnya kepada Mediaumat.news, Kamis (15/4/2021).

Menurutnya, sejak reformasi terjadi gelombang neoliberalisasi di bidang ekonomi dan politik. Banyak korporasi lahir dan membesar, juga partai politik. Baik korporasi maupun partai politik pada hakekatnya sama yaitu agen yang memanfaatkan pasar ekonomi atau politik.

Dengan biaya yang makin tinggi, lanjutnya, kedua institusi itu mengadopsi azas yang sama, yaitu pragmatisme dan pop culture. Banyak artis kini anggota parlemen dan bupati. Popularitas lebih penting daripada kredibilitas.

Di kalangan aktivis Islam, kata Prof. Daniel, memang ada yang percaya dengan parpol sebagai instrumen perjuangan. Sehingga muncul istilah parpol Islam ideologis, karena banyak parpol yang saat didirikannya kental dengan atribut Islam seperti PPP, PKB, PAN, lalu PKS dan PBB. Tapi semua parpol itu kini tidak lagi ideologis.

Baru-baru ini, bebernya, lahirnya Parpol Masyumi Reborn dan Partai Ummat adalah dua bukti mutakhir bahwa masih ada aktivis Islam yang memimpikan parpol Islam ideologis untuk memperjuangkan agenda Islam.

Bagi mereka, terang Prof. Daniel, ormas Islam seperti NU, Muhammadiyah, HTI atau FPI tidak bisa digunakan sebagai alat perjuangan politik yang efektif untuk melakukan perubahan nyata dan bermakna bagi sebuah masyarakat yang islami jika bukan masyarakat bersyariah apalagi berkhilafah.

“Padahal banyak aktivis Islam tidak menyadari bahwa UUD 1945 yang asli tidak pernah mengandaikan lalu mengatur parpol dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Parpol diberi peran melalui Maklumat No. X 16/10/1945 oleh Wapres Bung Hatta,” beber Prof. Daniel.

Menurutnya, setelah reformasi baru praktek berpolitik dengan parpol diresmikan secara legal dalam batang tubuh UUD 2002. Konstruksi UUD 2002 ini secara mendasar menggusur sistem MPR menjadi sistem neoliberal seperti yang dipraktekkan negara demokrasi seperti AS.

Sebab, lanjut Prof. Daniel, saat amandemen banyak konsultan asing yang memberi asupan konsep, dan mirisnya dilahap dengan rakus oleh anggota DPR/MPR hasil pemilu reformasi. Sehingga saat ini presiden bukan lagi mandataris MPR yang melaksanakan GBHN, tapi berubah menjadi petugas partai yang menjalankan agenda parpol pemenang pemilu, atau koalisi parpol pengusung alias oligarki parpol.

Karena ongkos pemilu langsung yang makin mahal, Prof. Daniel melihat, banyak anggota legislatif maupun eksekutif menggantungkan ongkos politik kepada para pemilik modal. Sehingga perselingkuhan politikus dan pengusaha atau taipan tidak terelakkan. Maka tidak mengherankan jika kemudian banyak lahir regulasi yang lebih mengutamakan kepentingan pemodal.

 

“Ini adalah maladministrasi publik, yaitu praktek penciptaan hukum dan interpretasinya untuk kepentingan penguasa, bukan publik,” ungkapnya.

 

Prof. Daniel menilai, saat ini makin jelas bahwa pasar politik, juga pasar ekonomi semakin dimonopoli oleh kartel politik yang didukung kartel ekonomi. Dan diwacanakan secara luas bahwa tugas-tugas politik warga negara hanya dimulai dan diselesaikan di bilik-bilik suara. Sedangkan ekspresi politik di luar bilik suara dianggap tidak sah, dianggap parlemen jalanan dan tukang bikin ribut, dianggap memecah belah dan bahkan dianggap radikal.

 

Ia memandang, fenomena yang bisa disaksikan selama paling tidak 10 tahun terakhir adalah bahwa parpol-parpol yang sebelumnya beratribut Islam telah merubah positioning ke tengah dalam upaya untuk merebut suara. Dan ini terjadi pada PKB, PAN, PPP, dan terakhir PKS.

 

Prof. Daniel menyebut, PBB yang semula dipandang ideologis, makin kehilangan suara. Maka lahirnya Masyumi Reborn dan Partai Ummat akan semakin memperkecil PKS dan PBB. Jika semula tujuan parpol Islam ideologis itu adalah untuk mewarnai kebijakan publik yang lebih islami, maka pengerdilan PKS dan PBB adalah panggang jauh dari api.

 

Terakhir, ia menyatakan, politik sebagai kebajikan publik harus disediakan oleh banyak agen, tidak boleh dimonopoli parpol saja. Umat Islam bisa mulai dengan dakwah politik dan ekonomi melalui pribadi, keluarga dan masjid. Masjid sebagai institusi dapat menjadi instrumen konsolidasi.

 

“Opsi lainnya adalah menyusupi parpol besar yang ada, seperti yang dilakukan kaum sekuler kiri radikal. Jika mereka berani dan berhasil, mengapa kita tidak?” pungkasnya.[] Agung Sumartono

Share artikel ini: