Prof. Abdul Chair Sayangkan RUU Perampasan Aset Tak Cantumkan Aturan Ini
Mediaumat.id – Ketua Umum Persatuan Doktor Pascasarjana Hukum Indonesia Assoc. Prof. Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H. menyayangkan, di dalam RUU Perampasan Aset belum diatur konsep illicit enrichment (peningkatan kekayaan secara tidak sah) dan gugatan in rem (ambil alih aset).
“Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset Tindak Pidana belum mengatur hal tersebut,” ujarnya dalam pers rilis berjudul Urgensi Sita Jaminan dalam RUU Perampasan Aset Tindak Pidana Korupsi yang diterima Mediaumat.id, Ahad (23/7/2023).
Padahal, aturan tersebut dinilai untuk mempermudah pengembalian uang negara terkait tindak pidana korupsi.
“Sepanjang belum adanya aturan tentang illicit enrichment, maka upaya pengembalian kerugian keuangan negara akan mengalami kesulitan,” sambungnya.
Illicit enrichment sendiri merupakan instrumen hukum terhadap penyelenggara negara yang memiliki kekayaan yang tidak wajar, dalam hal ini hasil korupsi.
Sementara, gugatan in rem adalah suatu upaya yang dilakukan oleh aparatur negara, dalam hal ini kejaksaan, untuk menuntut harta benda dari si terdakwa, keluarga, atau kroni-kroninya yang diperoleh dari hasil kejahatan yang belum tersentuh dalam perkara pidana.
Semisal, sebagaimana pernah disampaikan Wakil Ketua KPK Haryono Umar pada 2011 silam, seorang koruptor yang diduga merugikan keuangan negara hingga Rp100 miliar, hanya mengembalikan Rp5 miliar.
Sebab, menurutnya, hasil korupsi yang bisa dibuktikan di pengadilan hanya sebesar itu. “Nah uang korupsi yang Rp95 miliar bagaimana? Kan hilang begitu saja. Ujung-ujungnya negara yang merugi,” imbuhnya.
Sehingga, kata Abdul Chair lebih lanjut, sudah sepatutnya pengembalian kerugian keuangan negara ini merupakan bagian dari tugas dan tanggung jawab negara untuk mewujudkannya.
Apalagi dalam UU No. 9/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme saja, telah mengatur tentang subjek delik selain orang adalah juga dana yang terkait dengan pendanaan terorisme.
Sedangkan, korupsi sendiri telah dianggap kejahatan luar biasa karena dilakukan secara sistemik, kompleks dan terencana oleh para penyelenggara negara, atau dikenal juga sebagai extra ordinary crime (kejahatan luar biasa).
Sita Jaminan
Bahkan, menurut Abdul Chair, upaya perampasan aset terhadap harta kekayaan yang diperoleh secara tidak sah bisa juga menggunakan pendekatan conservatoir beslag (sita jaminan) untuk menghindari terjadinya pengalihan aset.
Sita jaminan merupakan tindakan dari pihak penggugat dalam bentuk permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri, untuk menjamin dapat dilaksanakannya putusan perdata, yang bisa berupa menguangkan atau menjual barang debitur yang disita.
“Dengan demikian ketika putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, perampasan aset tidak mengalami kendala dan tentunya sejalan dengan asas kepastian hukum yang adil,” jelasnya.
Tak hanya itu, dalam rangka mengintegrasikan penerapan sita jaminan berbasiskan in rem harus pula diimbangi dengan kelembagaan pemberantasan korupsi yang mengedepankan kolaborasi dan sinergitas antara lembaga penegak hukum.
Ditambah, adanya lembaga penyimpanan harta korupsi, menurutnya juga penting. “Segala harta hasil korupsi yang selama ini dilakukan oleh berbagai lembaga disatukan dalam lembaga khusus penyimpanan harta korupsi,” pungkasnya.[] Zainul Krian