Produksi Minyak Anjlok, AEPI: Biang Keroknya UU Migas

Mediaumat.id – Anjloknya produksi minyak nasional dalam dua dekade terakhir secara terus menerus, dinilai Peneliti Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI) Salamuddin Daeng akibat UU Migas yang diberlakukan.

“Biang kerok turunnya produksi migas tampak nyata di depan mata pemerintah. Apa itu? UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas,” ungkapnya kepada Mediaumat.id, Sabtu (21/5/2022).

Menurutnya, UU ini berdampak buruk terhadap masalah kelembagaan yang serius, pengaturan yang tidak pasti dan ketidaknyamanan seluruh usaha di sektor hulu migas.

“Lebih gawat lagi, UU Migas menyerahkan urusan produksi migas mulai pembuatan regulasi, melakukan pengawasan hingga memungut uang dari pelaku usaha kepada suatu lembaga yang bernama Satuan Kerja Khusus (SKK) Migas,” ujarnya.

“Pertanyaannya apa masuk akal menyerahkan urusan sebesar ini kepada satuan kerja?” tanyanya heran.

Daeng menilai, dari namanya saja sudah tidak relevan, isinya juga tidak kompeten mengurus masalah sebesar ini. “Lembaga ini buatan Presiden SBY sebagai usaha menyiasati dibubarkannya Badan Hulu (BP) Migas oleh Mahkamah Konstitusi. Lembaga penyiasatan ini langgeng keberadaannya hingga saat ini,” ungkapnya.

Menurutnya UU Migas itu sudah rusak dan berantakan. Sulit diharapkan sebagai sumber regulasi yang dapat menjadi pegangan.

Bayangkan, lanjutnya, sejak diundangkan pada tanggal 23 November 2001, UU Migas telah mengalami 4 kali pengujian di Mahkamah Konstitusi karena terdapat pasal-pasal yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945 khususnya Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD Tahun 1945, serta terdapat satu perkara yang ditolak MK dikarenakan persoalan legal standing.

Dalam tiga kali judicial review, beber Daeng, ada 16 pasal dari UU tersebut yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, yaitu melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 002/PUU-I/2003/ tentang Minyak dan Gas Bumi dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X/2012 tentang pembubaran BP Migas.

Secara garis besar, lanjutnya, materi yang dibatalkan melalui putusan Mahkamah Konstitusi tersebut terkait persoalan kelembagaan dan persoalan kontrak. Dalam persoalan kelembagaan, kekuasaan pemerintah menjadi terbagi-bagi dan tidak efektif, tidak jarang terjadi tumpang tindih kewenangan antar lembaga.

“Jika revisi UU Migas No. 22 Tahun 2001 tak kunjung selesai akan berdampak pada nilai country risk menjadi tinggi dan memengaruhi nilai investasi seperti pemberian nilai IRR (internal rate of return) dan adanya penyalahgunaan izin wilayah kerja serta pengembangan lapangan migas. Langkah strategis yang perlu diambil pemerintah terkait UU Migas, yaitu segera menyelesaikan revisi UU Migas yang komprehensif khususnya yang menyangkut kelembagaan dan kontrak kerja,” jelasnya.

Meskipun UU Migas yang sudah rusak ini ada di depan mata DPR, namun menurut Daeng, lembaga legislatif ini enggan melakukan revisi atau perubahan UU Migas, tak seperti UU Pemilu atau UU lain yang selalu dikebut.

“Tampaknya ada yang menikmati ketidakpastian dan kerusakan dalam pengaturan di sektor migas. Salah satu nikmat itu adalah impor migas, karena produksi nasional yang dapat dipastikan turun dengan UU ini,” tuturnya.

Namun, menurutnya, publik hanya tahu bahwa Presiden Jokowi gagal menaikkan produksi migas nasional, di era pemerintahan Jokowi produksi migas terus merosot. Sekarang mungkin tinggal 600 ribu barel sehari, lebih dari separuh kebutuhan nasional dipasok impor.

“Apa yang sudah dilakukan pemerintah untuk atasi masalah? Tidak ada! Sri Mulyani tidak menegur SKK Migas atau lebih jauh tidak meminta Presiden Jokowi membubarkan SKK Migas dengan alasan penerimaan negara dari migas yang sangat krusial karena terus merosot,” pungkasnya.[] Achmad Mu’it

Share artikel ini: