Problem Ketimpangan Ekonomi Indonesia
Oleh: dr. M. Amin (Direktur Poverty Care)
Kesenjangan ekonomi menjadi masalah besar di Indonesia. Besarnya kesenjangan juga terlihat pada penguasaan orang-orang kaya di sektor perbankan. Dana bank di Indonesia didominasi oleh pemilik rekening di atas Rp 2 miliar. Kelompok milyarder di Indonesia meraup dua pertiga kekayaannya dari praktik bisnis di sektor kroni (crony sectors). Ini dimungkinkan karena kedekatannya dengan kekuasaan. Oleh karena itu, tidak mengejutkan jika Crony-Capitalism Index Indonesia pernah bertengger di peringkat ketujuh dunia.
Persoalan ketimpangan tidak hanya menyangkut masalah pendapatan dan kekayaan. Ketimpangan pada akhirnya adalah mengenai kekuasaan. Ketimpangan ekonomi menyebabkan ketimpangan kekuasaan dalam hal siapa yang membuat aturan, siapa yang menguasai modal dan sumberdaya dan siapa yang dapat menantang status quo. Ketidakseimbangan kekuasaan yang berakibat pada ketimpangan yang lebar antara kelompok kaya dan kelompok lain semakin melanggengkan ketimpangan. Pasalnya, mereka yang berada di atas memiliki akses istimewa dan pengaruh pada proses pengambilan keputusan yang dimanfaatkan agar perekonomian dan berbagai kebijakan dapat melayani kepentingan mereka. Adapun kepentingan orang-orang yang berada di bawah cenderung tidak dihiraukan. Hal ini pada gilirannya berakibat pada ketidakstabilan social. Pasalnya, ruang politik dan ekonomi digunakan untuk memenuhi kepentingan segelintir orang daripada kepentingan banyak orang (Oxfam, 2016).
Dalam laporannya, Oxfam Internasional menjelaskan bahwa setidaknya ada empat pendorong utama ketimpangan di Indonesia yaitu:
1. Upah murah dan pekerjaan yang tidak memberikan rasa aman bagi mereka yang berada di bagian paling bawah semakin memperparah masalah ketimpangan. Akibatnya, pekerja merasa tidak berdaya untuk mengangkat diri mereka dari jurang kemiskinan.
2. Ketimpangan akses antara pedesaan dan perkotaan terhadap infrastruktur seperti jaringan listrik dan jalan yang berkualitas semakin memperlebar ketimpangan spasial antara kota dan desa.
3. Pemusatan penguasaan lahan oleh perusahaan besar dan individu kaya menyebabkan manfaat yang diperoleh dari hak kepemilikan lahan hanya menumpuk pada mereka yang berada di bagian teratas dengan mengorbankan masyarakat yang lain.
4. Sistem perpajakan telah gagal memainkan peran pentingnya dalam mendistribusikan kekayaan; masih jauh dari potensi pencapaiannya dalam meningkatkan pendapatan untuk membiayai layanan publik guna mengurangi ketimpangan. Pemungutan pajak di Indonesia sebagai persentase dari PDB menempati peringkat terendah kedua di Asia Tenggara.
Jika ingin keluar dari problem pemiskinan global akibat kapitalisme, ketimpangan ekonomi, termasuk penindasan ekonomi, negara ini perlu mengikuti teladan Rosulullah SAW. Sistem ekonomi Islam sangat memperhatikan sistem distribusi kekayaan. Dalam pandangan sistem ekonomi Islam, buruknya distribusi kekayaan di tengah masyarakat itulah yang membuat timbulnya kemiskinan dan ketimpangan ekonomi. Kesejahteran rakyat akan terwujud. Ini karena politik ekonomi Islam adalah menjamin kebutuhan pokok tiap individu rakyat bisa terpenuhi. Negara/Khilafah mesti menjamin pemenuhan kebutuhan pokok (pangan, papan, sandang, kesehatan, pendidikan dan keamanan). Jika seseorang tidak mampu memenuhi kebutuhan pokoknya dan keluarganya, kewajiban itu beralih kepada kerabatnya mulai yang terdekat. Jika tidak mencukupi, diambilkan dari harta zakat. Jika belum mencukupi, kewajiban itu beralih ke negara. Negara bisa memberikan bantuan langsung maupun dengan memberi pekerjaan.
Semua potensi kekayaan alam yang menjadi sumber pendapatan penting negara akan ditujukan untuk kepentingan rakyat. Dalam Islam, barang-barang tambang yang melimpah seperti emas, perak, timah, batu bara, minyak dan gas adalah milik rakyat yang disebut milkiyah ‘amah sehingga tidak boleh diberikan kepada individu, swasta apalagi asing. Kekayaan alam milik umum ini harus dikelola negara dengan baik, amanah, transparan, profesional dan penuh tanggung jawab. Seluruh hasilnya untuk kepentingan rakyat. Dengan sistem ini, rakyat Indonesia dengan alamnya yang kaya raya ini akan sejahtera.
Kita tidak bernostalgia dengan sejarah. Namun, kemampuan Khilafah untuk menyejahterakan ini terbukti dalam sejarah Islam. Salah satu contoh, kesejahteraan rakyat pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Tergambar dari ucapan Yahya bin Said, seorang petugas zakat masa itu, “Saat hendak membagikan zakat, saya tidak menjumpai seorang miskin pun. Umar bin Abdul Aziz telah menjadikan setiap individu rakyat pada waktu itu berkecukupan.”
Inilah sistem ekonomi Islam. Ia merupakan hukum-hukum syariah yang berasal dari Zat Yang Mahabijaksana lagi Mahatahu. Dia Yang Mahasuci mengetahui hakikat apa yang menjadikan baik bagi makhluk-makhluk-Nya. Demikian sebagaimana firman-Nya (yang artinya): Ingatlah Allah Yang menciptakan itu mengetahui dan Dia Mahahalus lagi Mahatahu? (TQS al-Mulk [67]: 14).
Sistem ekonomi Islam adalah sistem ekonomi yang sahih. Sistem ini menyediakan kehidupan yang aman dan baik untuk pihak yang kuat maupun yang lemah, kaya maupun miskin. Dengan sistem itu mereka semuanya akan menjadi hamba-hamba Allah SWT yang saling bersaudara. Sesungguhnya sistem ini akan membuat baik kondisi umat manusia. Mahabenar Allah Yang Mahagung, Yang telah berfirman (yang artinya): Jika datang kepada kamu petunjuk dari-Ku, lalu siapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku, sungguh bagi dia penghidupan yang sempit (TQS Thaha [20]: 123-124).
Oleh karena itu, sistem ekonomi Islam bisa menjadi solusi bagi ketimpangan ekonomi dan kemiskinan yang saat ini terjadi di Indonesia. Mengatasi ketimpangan ekonomi dan kemiskinan tentu saja tidak bisa secara parsial, namun harus lewat perubahan sistem yang menyeluruh. Caranya adalah dengan mengganti sistem Kapitalisme yang menjadi penyebab utama ketimpangan dan kemiskinan masyarakat dengan sistem Islam. Di sinilah kecemerlangan Islam dalam menuntaskan problem ketimpangan ekonomi dan kemiskinan. Artinya, Islam tidak memandang bahwa kemiskinan merupakan urusan individu semata, tetapi melibatkan negara dan sistemnya.