Pro Kontra UU Minol, Cendekiawan Muslim: Ini Soal Paradigma

Mediaumat.news – Menanggapi pro dan kontra Rancangan Undang-Undang tentang Larangan Minuman Beralkohol (RUU Minol), Cendekiawan Muslim Ustaz Muhammad Ismail Yusanto (MIY) menilai bahwa ini soal paradigma yang saling berhadapan antara materialisme sentris dan manusia sentris.

“Ini soal paradigma. Dan paradigma ini yang saya kira saat ini berhadap-hadapan antara manusia sentris dengan materialisme sentris. Ketika paradigma ini berhadap-hadapan memang selalu ada dua argumen yang selalu bertentangan,” tuturnya dalam acara Fokus: Pro dan Kontra RUU Minol, Ahad (22/11/2020) di kanal Youtube Fokus Khilafah Channel.

Menurutnya, kalau materialisme sentris maka manusia itu hanya dijadikan alat atau objek dari pencapaian material itu. Dalam hal ini adalah kepentingan bisnis dan finansial. “Tapi kalau manusia sentris maka manusia itu menjadi sentrum. Bahwa kepentingan material atau finansial harus tetap menempatkan manusia itu sebagai manusia yang diangkat harkat dan martabatnya termasuk juga dijaga kesehatannya,” ujarnya.

Ia menilai salah satu hal penting yang harus dijaga adalah kesehatan akalnya. Ini yang membedakan manusia satu dengan manusia yang lain. Termasuk yang paling mendasar yang membedakan manusia dengan hewan adalah akal. “Jikalau akal itu sudah rusak, maka manusia itu tak ubahnya seperti hewan bahkan lebih ganas daripada hewan. Nah, salah satu yang sudah dibuktikan secara medis yang merusak akal sehat manusia itu adalah minuman keras,” ungkapnya.

Jika materialisme sentris selalu mengatakan bahwa ada pariwisata, tenaga kerja dan cukai, menurutnya, secara rasional pencapaian material itu tidak sebanding dengan kerusakan yang ditimbulkan. “Misalnya cukai. Angka cukai itu maksimum sejak 2004 sampai 2019 tidak pernah lebih dari 6 triliun. Dibanding dengan target maksimal lebih dari 2000 triliun, tentu angka 6 triliun itu kecil sekali,” bebernya.

Lebih lanjut, ia menuturkan tenaga kerja total beserta distributornya hanya sekitar 240 ribu jiwa. “Itu hanya 1/4 juta dari 137 juta tenaga kerja. Jadi, kurang dari 1/4 %. Kecil sekali. Mungkin dengan investasi beberapa triliun itu sudah selesai,” ujarnya.

Padahal, menurutnya kerusakan yang ditimbulkan oleh minol ini sangat besar. “Berapa kita mau menghargai nyawa manusia? Berkelahi sampai mati. Di beberapa tempat itu, gara-gara miras oplosan sekian belas orang meninggal. Berapa harga nyawa satu orang itu? Mau kita hargai berapa? Belum lagi kerusakan moral, ketegangan sosial dan meningkatnya kriminalitas,” ungkapnya.

Berdasarkan data di Sulawesi Utara, 70% kriminalitas di sana dipicu oleh miras. Ia berpendapat angka tersebut sangat valid menunjukkan relasi antara miras dengan kriminalitas. Di satu sisi masyarakat ingin hidup tenteram dan aman.

“Jika ingin hidup aman dan tenteram maka sumber dari ketidakamanan dan kriminalitas yakni minuman keras yang mencapai 70% itu seharusnya dihilangkan. Kalau itu dihilangkan, berarti kan tinggal 30%? Artinya itu akan menjadi faktor pengurang yang sangat signifikan,” pungkasnya.[] Achmad Mu’it

Share artikel ini: