Priiit… Kartu Kuning!

Oleh: Abdul Madjid, MBA  (Analis LARAS)

Kartu kuning selama ini dikenal khalayak ramai terjadi di dunia sepak bola. Kartu tersebut digunakan oleh wasit untuk menghukum seorang pemain yang melakukan pelanggaran dalam permainan. Tetapi  di Indonesia ada fenomena baru berkaitan dengan kartu kuning. Kartu kuning diberikan kepada seorang yang paling berkuasa di negeri oleh seorang mahasiswa. Mahasiswa tersebut  seakan  menunjukkan bahwa penguasa tertinggi ini telah melakukan pelanggaran dalam mengelola negeri ini.

dalam  mengurus  rakyat jauh dari janji yang diucapkan. Papua tanah yang kaya sumber daya alam, tetapi rakyatnya kekurangan gizi buruk. BBM dan infrastruktur penunjangnya amburadul. Padahal kandungan emas melimpah ruah lebih dari cukup untuk memakmurkan rakyat Papua bertahun-tahun. Bahwa dapat untuk memakmurkan seluruh rakyat Indonesia.

Di sisi lain setiap ada persoalan yang menyangkut kebutuhan pokok rakyat, solusinya impor. Daging langka impor, bawang dan lombok mahal impor, beras mahal impor. Padahal impor hanya menguntungkan segelintir pengusaha rakyat tetap menderita dan jadi korban abadi.

Saya katakan, hendaknya para pemimpin mengingat hadits ini:

“Penghulu para syuhada’ adalah Hamzah bin ‘Abd al-Muthallib dan orang yang mendatangi penguasa zhalim lalu memerintahkannya (kepada kebaikan) dan mencegahnya (dari keburukan), kemudian ia (penguasa zhalim itu) membunuhnya.” (HR. al-Hakim dalam al-Mustadrak, al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Awsath)

Kalimat afdhal al-jihâd dalam hadits pertama merupakan bentuk tafdhîl (pengutamaan), yang menunjukkan secara jelas keutamaan mengoreksi penguasa, menyampaikan kebenaran kepada penguasa yang berbuat zhalim. Sedangkan dalam hadits yang kedua, orang yang mengoreksi penguasa, lalu dibunuh, maka dinilai sebagai sayyid al-syuhadâ (penghulu mereka yang mati syahid).

Kedua kalimat ini jelas merupakan indikasi pujian atas perbuatan mengoreksi penguasa, dalam bentuk ikhbâr (pemberitahuan). Maka, pemberitahuan tersebut bermakna jâzim (tegas). Sebab, jika sesuatu yang dipuji tersebut tidak dilakukan akan mengakibatkan terjadinya pelanggaran dan runtuhnya pelaksanaan hukum Islam, dan sebaliknya hukum Islam akan dapat terlaksana jika aktivitas tersebut dilaksanakan, maka aktivitas tersebut hukumnya wajib.

Didlm sistem politik Demokrasi yang menganut Trias Politika menjadikan legislatif sebagai lembaga wakil rakyat yang bukan hanya berfungsi sebagai legislasi (pembuat hukum) semata akan tapi juga sebagai lembaga kontrol terhadap lembaga eksekutif (check & balance).

Prof Miriam Budiarjo menjelaskan, badan legislatif berkewajiban untuk mengawasi aktivitas badan eksekutif agar supaya sesuai dengan kebijaksanaan yang telah ditetapkannya. Pengawasan dilakukan melalui sidang panitia legislatif dan melalui hak-hak kontrol yang khusus seperti hak bertanya, interpelasi, hak angket dan mosi tak percaya. (Dasar-dasar Ilmu Politik, PT.Gramedia, hal 184).

Di dalam politik Islam seorang Khalifah (penguasa) bukanlah orang yang otoriter yang anti terhadap kritik dari rakyatnya sebab seorang Khalifah adalah wakil ummat untuk mengurusi urusan kehidupan manusia dan sekaligus penjaga aqidah dan syariah. Seorang Khalifah juga bukan manusia suci yang terlepas dari kesalahan maupun dosa sebagaimana keyakinan orang-orang Syi’ah terhadap imamnya. Sistem Khilafah adalah sistem pemerintahan yang berasal dari Allah SWT akan tapi yang menjalankannya adalah manusia yang sangat berpotensi melakukan kelalaian, kealfaan ataupun dosa.

Salah satu bentuk aktivitas politik Islam adalah melakukan koreksi terhadap kebijakan penguasa ketika menyimpang dari prinsip-prinsip ajaran Islam. Aktivitas ini dapat dilakukan oleh individu, jamaah maupun lembaga representatif umat (majelis ummat). Aktivitas mengoreksi penguasa bagian dari aktivitas menyerukan yang makruf dan mencegah dari yang mungkar.[]

Share artikel ini: