Presidential Threshold demi Kepentingan Oligarki?

Mediaumat.id – Adanya presidential threshold (ambang batas suara yang harus diperoleh partai politik dalam suatu gelaran pemilu untuk bisa mengajukan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden) sebanyak 20 persen diduga dilakukan demi kepentingan oligarki.

“Siapa yang memiliki kepentingan itu? Saya kira banyak pengamat yang menyebut ini semua demi oligarki,” ungkap Cendekiawan Muslim Ustadz Muhammad Ismail Yusanto (UIY) di acara Focus to The Point: Bongkar Pasang Koalisi, Kepentingan Siapa? melalui kanal YouTube UIY Official, Kamis (1/9/2023).

UIY beralasan, oligarki lebih mudah mengatur sedikit orang dibanding banyak orang. “Jika presidential threshold nol mungkin akan ada lebih dari 10 calon presiden. Mengatur 10 calon tentu tidak lebih mudah ketimbang misalnya mengatur tiga. Di balik ini ada yang dicari oleh oligarki yaitu akses bisnis dan akses kekuasaan,” ulasnya.

Karena itu, sambungnya, banyak pihak mengatakan yang terjadi sekarang bukan kedaulatan rakyat tapi kedaulatan pemilik modal. Rakyat hanya dijadikan sebagai alat legitimasi. “Dengan pengendalian oligarki ini, pemimpin yang terpilih kecil kemungkinan bekerja untuk rakyat,” tandasnya.

Konsekuensi

Konsekuensi dari demokrasi prosedural yang berupa presidential threshold 20 persen tersebut membuat kedaulatan rakyat tidak jalan.

“Ini anomali (keanehan) sebab di satu sisi salah satu prinsip penting demokrasi adalah kedaulatan rakyat, tapi di sisi lain ada aturan presidential threshold 20 persen yang membuat kedaulatan rakyat tidak bisa berjalan,” kritiknya.

Jangan lagi kedaulatan rakyat, ucapnya, kedaulatan partai pun tidak.

Ia berargumen, partai yang jumlah suaranya tidak sampai 20 persen tidak mungkin bisa mengambil langkah sendiri mencalonkan calon presiden. “Jadi di mana letak kedaulatan rakyat itu? Wong kedaulatan partai pun tidak,” tukasnya.

Islam

UIY menuturkan, dalam Islam ada faktor yang memastikan saat pemimpin terpilih tidak dikuasai pihak lain.

Pertama, ini yang paling penting adalah bahwa dia memimpin itu bukanlah memimpin dengan istilah sekarang cek kosong. Maksudnya dia tidak memimpin semau dia. Dalam Islam pemimpin itu dipilih untuk melaksanakan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Artinya dia dipilih untuk melaksanakan syariat Islam kaffah,” bebernya.

Karena itu, ucapnya, kewenangan pemimpin dipagari syariat. Jika melanggar pasti ada koreksi dari masyarakat atau partai politik atau majlis ummah.

Kedua, tapi sebelum itu, ada takwa yang membuat dia itu takut melanggar, karena konsekuensinya bukan hanya sekadar diingatkan atau impeachment (pemakzulan), tapi lebih dari itu, yaitu ketika nanti dia kembali ke hadapan Allah.

Karena itulah, imbuhnya, Rasulullah SAW mengingatkan bahwa jabatan itu amanah. Dan amanah itu nanti di yaumil akhir hanya akan menjadi kehinaan dan penyesalan kecuali mereka yang mengambil secara hak dan yang melaksanakan amanah itu.

“Ini yang selalu ada pada diri seorang pemimpin Muslim yang bertakwa bahwa dia itu menggunakan jabatannya di dalam kerangka akhirat. Dengan kacamata akhirat itu, kalau istilah saya yang membuat akhirnya dia takut untuk menyalahgunakan jabatan itu,” urainya.

Terakhir UIY menegaskan, meletakkan kedaulatan di tangan siapa itu sangat penting. “Ketika demokrasi meletakkan kedaulatan di tangan rakyat, di situ menjadi celah oligarki dengan kekuatan modalnya masuk. Islam menutup celah itu dengan meletakkan kedaulatan di tangan syariat, sehingga siapa pun tidak bisa masuk,” pungkasnya.[] Irianti Aminatun

Share artikel ini: