Mediaumat.id – Membandingkan pengunduran diri Nguyen Xuan Phuc dari jabatan Presiden Vietnam pada Selasa (17/1) lalu karena bawahan terlibat kasus korupsi, dengan para pejabat Indonesia, Direktur Pamong Institute Wahyudi al-Maroky menyampaikan begini.
“Kalau pejabat kita mungkin, rupiah jatuh sampai berapa pun mungkin dia tidak akan mundur karena mungkin kita punya slogan ‘(Maju terus) pantang mundur!’,” ujarnya dalam Bincang Bersama Sahabat Wahyu: Presiden Mundur Setelah Pejabat Korupsi, Apakah Vietnam Belajar Dari Indonesia? di kanal YouTube Jakarta Qolbu Dakwah, Kamis (26/1/2023).
Padahal, menurutnya, sudah ada bawahan presiden dalam hal ini menteri yang terlibat bahkan sudah menjadi terpidana kasus korupsi. “Di bulan Desember 2020, itu ada dua menteri yang terlibat korupsi dalam kabinetnya Pak Jokowi. (Yaitu) Juliari Peter Batubara (Menteri Sosial saat itu) dan Edhy Prabowo (Menteri Kelautan dan Perikanan saat itu),” ungkapnya.
Namun karena belum menjadi tradisi dan tidak merasa bertanggung jawab, langkah mengundurkan diri tak dilakukan oleh presiden, atasan langsung dari dua menteri tersebut. “Dua menteri ini kan orang terdekat presiden,” sebutnya.
Karena itu, kata Wahyudi lagi, bagaimana negeri ini bisa bersih dari korupsi kalau pemimpinnya demikian. “Bagaimana mau memberantas korupsi, kalau orang terdekatnya saja atau pembantu terdekatnya itu saja tidak mampu dicegah tidak mampu dikontrol untuk tidak melakukan korupsi,” tandasnya.
“Jadi ini juga kita perlu belajar,” sambungnya, seraya memaparkan bahwa sikap bertanggung jawab dari Presiden Vietnam yang menurutnya patut diapresiasi itu pun telah dilakukan di banyak negara, salah satunya oleh Perdana Menteri (PM) Inggris Boris Johnson.
Untuk dipahami sebelumnya, kata Wahyudi, seorang presiden seperti di Indonesia misalnya, memiliki dua kedudukan, yakni sebagai kepala negara serta kepala pemerintahan. Sementara perdana menteri sebagai kepala pemerintahan saja.
Adalah skandal yang telah mencoreng nama pemerintahan Boris Johnson. ungkap Wahyudi lebih lanjut, lantas pada Juli 2022 PM tersebut menyatakan mundur. Padahal, kejadian dimaksud melibatkan bawahan dari PM Britania Raya periode 24 Juli 2019 hingga 6 September 2022 itu.
Hal sama ternyata dilakukan oleh penggantinya, Mary Elizabeth Truss. Meski menjabat selama 45 hari juga menyatakan mundur dari jabatan PM Inggris pada Oktober 2022 lalu. “Kenapa? Karena dia merasa tidak bisa menjaga nilai poundsterling yang ambruk,” ungkap Wahyudi.
Begitu pula Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern. Dikarenakan salah satunya tidak mampu menampung berbagai persoalan sehingga tidak bisa berlaku adil, kata Wahyudi, Ardern resmi mengumumkan akan mengundurkan diri tidak lebih dari 7 Februari mendatang.
Karena itu, semestinya hal demikian bisa menjadi pelajaran untuk negeri ini. “Saya pikir ini tradisi yang bagus. Artinya, bisa menjadi pelajaran buat (para pejabat) kita,” pungkasnya.[] Zainul Krian