Mediaumat.info – Pernyataan Presiden Jokowi yang menyebut ‘seorang presiden boleh memihak dan berkampanye dalam pemilihan presiden (pilpres) selama mengikuti aturan waktu kampanye dan tidak menggunakan fasilitas negara’ dinilai membahayakan.
“Terkait dengan pernyataan Jokowi, presiden boleh kampanye bahkan boleh memihak, ini pernyataan yang sangat berbahaya bagi pelaksanaan pemerintahan yang baik dan adil,” tutur Direktur Pamong Institute Wahyudi al-Maroky kepada media-umat.info, Selasa (30/1/2024).
Menurutnya, kalau kepala negara dan kepala pemerintahan dalam hal ini presiden sudah boleh memihak maka bisa dipastikan tidak akan bisa berlaku adil. “Bahkan bisa dipastikan dia akan memihak ke salah satu pihak dan meruntuhkan nilai-nilai keadilan,” ungkapnya.
Di situlah, lanjut Wahyudi, letak keruntuhan pada pemerintahan yang adil. “Kalau sudah tidak adil, pasti pemerintahannya tidak baik. Jadi, good governance hancur gara-gara dia tidak adil,” tegasnya.
Selanjutnya, kata Wahyudi, presiden bisa curang. “Kalau sudah tidak adil maka langkah berikutnya itu bisa menjadikan seorang presiden berlaku lebih jauh lagi, bisa curang, bisa tidak jujur,” ungkapnya.
“Kalau sudah tidak adil, dia akan meningkat jadi tidak jujur. Karena punya kewenangan bisa terjadi kecurangan. Jadi, asal muasal kecurangan nanti yang akan masif karena ada ketidakjujuran diawali dari ketidakadilan. Kalau sudah tidak berlaku adil, dia akan tidak jujur kepada pihak yang lain. Karena dia pasti melindungi pihak yang dia dukung,” tutur Wahyudi.
Melanggar Konstitusi
Wahyudi menilai, hal ini tidak dibenarkan dalam konstitusi. Dalam konstitusi itu banyak sekali pasal yang mengatur pemerintahan supaya adil kepada rakyat bahkan menjalankan undang-undang secara lurus.
Ia pun menyebut tiga di antaranya. Pertama, dalam konstitusi Pasal 9 UUD 1945 terkait dengan sumpah presiden. Itu dia disumpah untuk menjadi Presiden Republik Indonesia agar menjalankan undang-undang selurus-lurusnya.
“Tidak boleh condong kanan dan condong kiri, belok kanan belok kiri, harus lurus. Kalau sudah memihak, pasti condong kepada yang dia dukung,” katanya.
Kedua, dalam Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 itu sudah pasti ada pasal yang dilanggar yakni pasal 281, 282, 283.
“Jadi, kalau kita lihat di situ sudah jelas bahwa presiden atau kepala pemerintahan itu posisinya sebagai pejabat negara, maupun gubernur, maupun menteri, maupun kepala daerah, itu dilarang untuk berpihak kepada salah satu kontestan pemilu. Jadi, baik dalam waktu kampanye maupun sebelum masa kampanye maupun sesudah kampanye, itu dia harus netral,” bebernya.
Wahyudi mengingatkan, ini bertentangan juga dengan pernyataan Jokowi sendiri yang pada bulan November sudah mengatakan aparat negara, ASN, TNI, Polri, termasuk pemimpin daerah sampai ke pusat itu harus netral.
“Itu pernyataan dikeluarkan bulan November. Tetapi dua bulan kemudian, bulan Januari sudah berkata lain. Saya pikir sudah tidak konsisten dalam ucapannya. Ini berbahaya kalau diteruskan,” ungkapnya.
Ketiga, pasal 27 UUD 45 yang menyebutkan bahwa warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan.
“Jadi, posisi sebagai kepala negara atau kepala pemerintahan mestinya memandang semua rakyatnya itu sama atau tidak boleh ada yang di pihak (capres tertentu). Dia yang dianggap sebagai Bapak Bangsa sebagai pemimpin melihat rakyatnya itu harusnya sama. Kalau sudah menyatakan ingin memihak berarti sudah ada yang dianakemaskan. Memang betul karena anaknya ikut kontestasi bisa jadi dianggap sebagai anak emas,” pungkasnya. [] Achmad Mu’it