Mediaumat.news – Rencana otoritas Prancis menutup penerbit ‘Nawa Editions’ sebagaimana diumumkan Menteri Dalam Negeri Gerald Darmanin dalam sebuah cuitan (tweet) yang dilansir laman 5pillarsuk (20/9), membuktikan bahwa prinsip freedom of speech di dalam demokrasi hanya mitos.
“Demokrasi yang mengklaim sebagai ajaran yang siapa pun boleh, bebas berpendapat, yang prinsip freedom of speech itu menjadi prinsip penting dalam demokrasi, adalah omong kosong dan mitos saja,” ujar Direktur Forum on Islamic World Studies (FIWS) Farid Wadjdi kepada Mediaumat.news, Selasa (21/9/2021).
Seperti diberitakan sebelumnya, penerbit Muslim yang berbasis di Ariege, Prancis barat daya tersebut, diduga telah mendistribusikan beberapa buku yang melegitimasi jihad. Tak ayal, penutupan itu, menurut Farid, juga menunjukkan bahwa Prancis merupakan salah satu negara yang benar-benar memerangi ajaran Islam.
Padahal jihad adalah bagian dari ajaran Islam yang dengan sangat tegas telah dijelaskan di dalam Al-Qur’an maupun hadits. “Jihad itu adalah suatu kewajiban yang diperintahkan oleh Allah. Pengertian syar’i-nya yaitu al-qitaalu fi sabilillah, berperang di jalan Allah,” jelasnya.
Farid menambahkan, ketika mempersoalkan atau mengkriminalisasi konsep ajaran-ajaran Islam termasuk jihad, sesungguhnya mereka telah memerangi Islam secara keseluruhan. Sebab, seluruh ajaran di dalam Islam sebenarnya tidak bisa dipisah satu dengan yang lainnya.
Begitu pun alasan penutupan karena dinilai telah bertentangan dengan nilai-nilai Barat, menurut Farid hal itu lebih menunjukkan bahwa ajaran Islam dengan kapitalisme Barat yang liberal memang tidak bisa dikompromikan.
“Ajaran Islam adalah ajaran yang bersumber dari Allah SWT, bersumber hukum Al-Qur’an dan sunah. Sementara ajaran Barat atau kapitalisme adalah ajaran yang bersumber dari hawa nafsu manusia yang terbukti telah merusak umat manusia,” bebernya.
Semestinya, imbuh Farid, negara pengemban demokrasi bersikap terbuka saja dengan mengatakan bahwa demokrasi memang menentang ajaran Islam, serta tidak memberikan ruang kebebasan pada ajaran Islam.
Di sisi lain, rencana Prancis tersebut sebenarnya juga mencerminkan kecenderungan dunia yang semakin terpolarisasi antara yang hak dan batil. “Yang hak itu adalah Islam, yang batil itu adalah kapitalisme liberal,” tandasnya.
Oleh karena itu, ia berharap agar umat Muslim tidak sedikit pun berkompromi, apalagi tunduk pada kapitalisme liberal. “Bagaimana mungkin ajaran wahyu yang bersumber dari Allah SWT, yang Mulia, yang Maha Pengasih, Maha Penyayang yang dipastikan kebenarannya, tunduk kepada ajaran-ajaran yang penuh hawa nafsu,” pungkasnya.[] Zainul Krian