Prancis Larang Atlet Muslimah Berhijab di Olimpiade 2024, UIY: Ini Paradoks
Mediaumat.id – Cendekiawan Muslim Ustadz Ismail Yusanto (UIY) menyatakan larangan atlet Muslimah berhijab di olimpiade 2024 oleh Prancis merupakan paradoks yang sangat memalukan.
“Iya ini paradoks yang saya kira sangat memalukan, mereka (Prancis) selalu menyerukan di mana-mana bahwa mereka itu sebagai bangsa negara itu punya tiga prinsip itu liberty (kebebasan), egality (persamaan), fraternity (persaudaraan),” tuturnya dalam Focus to The Point: Sekulerisme Prancis Semakin Menggila, Atlet pun Dilarang Berhijab, Sabtu (7/10/23) di kanal YouTube UIY Official.
UIY juga mempertanyakan, jika Prancis mengusung kebebasan, kenapa terkait hijab bagi atlet Muslimah tidak diberikan kebebasan.
“Sebelumnya kan Perancis juga melarang burdah, ya kan, niqab, pemakaian niqob itu, padahal semua yang dilarang itu masuk di dalam istilah mereka itu private (privasi), eh apa, matter (urusan) gitu, jadi urusan-urusan pribadi,” ujarnya.
Padahal, lanjutnya, di dalam nilai sekuler tersebut ada nilai kebebasan dan persamaannya, mestinya hijab itu boleh karena termasuk kebebasan dan persamaan.
“Kenapa ini? Kritik dari kalangan mereka sendiri termasuk kalangan oposisi gitu, kalau LGBT itu boleh, gitu ya, dia (LGBT) mengidentifikasikan sebagai gay bahkan boleh dia (LGBT) nikah sejenis itu atas nama kebebasan, menampakkan dirinya sesuai dengan identitas yang dia pilih itu, tapi kenapa kalau Muslim tidak?” tanyanya.
Kegagalan
UIY juga membeberkan bahwasanya paradoks inilah bukti kegagalan Prancis untuk memahami fenomena yang tengah terjadi di tengah masyarakat Barat dan Prancis pada khususnya.
“Karena mereka (Prancis) tahu bahwa proses islamisasi terus berjalan, dakwah terus berjalan, dan perubahan terjadi ada banyak orang yang kemudian memilih jalan Islam, dan sesungguhnya tidak ada satu pun kerugian yang ditimbulkan oleh fenomena ini oleh perubahan-perubahan ini,” lanjutnya.
Bahkan, ujarnya, Prancis sebenarnya sangat tertolong oleh warga Muslim di dunia olahraga seperti ketika Prancis memenangkan Piala Dunia di tahun 2018 yang 8 dari 11 pemainnya adalah Muslim.
“Artinya kontribusi, sebutlah begitu, warga Muslim kepada prestasi olahraga di Prancis itu sebenarnya sangat signifikan gitu. Tapi itu bahwa ada sayap atau kelompok radikal sekuler yang selalu mencemaskan masa depan Prancis bila ini dibiarkan terus berkembang gitu, jadi ini sebenarnya kekalahan intelektual,” ucapnya.
War on Islam
UIY menuturkan, war on radicalism ataupun war on terrorism ini semacam soft word (kata halus) untuk tidak menyebutkan secara langsung terkait Islam ini. “Ini hari enggak bisa ditutupi bahwa war on terrorism, war on radicalism itu adalah war on Islam,” ujarnya.
Dan, lanjutnya, bentuk pelarangan hijab bagi warga Prancis, pelarangan abaya pada anak-anak sekolah itu sudah menunjukan secara gamblang argumen ini bertentangan dengan sekulerisme.
“Ini menampakkan (war on radicalism, war on terrorism) segala macam itu hanya kamuflase saja untuk menutupi maksud sesungguhnya itu adalah war on Islam baik A sampai Z,” tandasnya.[] Setiyawan Dwi