Oleh: Mahfud Abdullah (Direktur Indonesia Change)
Di tengah pandemi COVID-19, situasi lapas dan rutan yang secara umum kelebihan kapasitas jadi pertimbangan utama rencana Menkum HAM Yasonna Laoly untuk membuat kebijakan pembebasan napi, dengan asumsi seandainya satu orang saja terpapar COVID-19, itu akan sangat membahayakan seluruh penghuni lapas dan rutan, termasuk aparat.
Walhasil sebagaimana yang dikabarkan oleh media, sekitar 37.491 narapidana dewasa dan anak telah dibebaskan berkat program pencegahan penyebaran COVID-19 di lingkungan lapas dan rutan, per 8 April 2020. Itu terdiri dari 33.078 napi dewasa dan 783 napi anak yang menjalani asimilasi, serta 1.776 napi dewasa dan 39 napi anak yang menjalani program integrasi. Mereka yang menjalani program asimilasi tidak boleh keluar rumah. Jika melanggar peraturan, maka akan dikembalikan lagi ke sel.
Sementara yang menjalani program integrasi sebenarnya diperbolehkan berinteraksi kembali dengan masyarakat, namun karena ada kampanye social distancing dalam rangka mencegah penyebaran pandemi, mereka tetap dianjurkan tidak ke mana-mana. Kabag Humas dan Protokol Ditjen Pemasyarakatan Rika Apriani mengatakan pembebasan ini telah sesuai dengan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 10 Tahun 2020. Mereka yang dibebaskan telah memenuhi sejumlah kriteria, yaitu: 2/3 masa pidana untuk dewasa dan 1/2 untuk anak jatuh sampai 31 Desember 2020, tidak sedang menjalani subsider, dan bukan WNA. Mereka yang dibebaskan juga tidak terikat dengan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. PP itu mengatur tentang napi terorisme, narkotika, korupsi, dan kejahatan terhadap keamanan negara. Dengan kata lain, mereka adalah kriminal biasa atau napi pidana umum.
Memberikan kebijakan bebas bersyarat kepada seseorang yang terbukti telah melakukan kejahatan bukanlah perkara sederhana. Selain butuh pertimbangan justifikasi yang tepat, implikasi lanjutan di luar lapas setelah napi tersebut dibebaskan seharusnya turut menjadi hal yang diperhitungkan dengan matang. Mengingat jumlah napi yang dibebaskan tidak sedikit, serta jangka waktu berlangsungnya pandemi belum diketahui secara pasti.
Selain para napi ini harus berjuang mengarungi stigma negatif secara sosial di masyarakat, tekanan ekonomi cepat atau lambat akan mereka alami dan levelnya cukup buruk di situasi sulit akibat pandemi ini. Tentu semua pihak tidak menginginkan hal itu bermuara pada kriminalitas yang membawa mereka check in kembali ke hotel prodeo.
Inilah sekelumit dilema negara demokrasi. Tindakan kriminal pada hakikatnya adalah upaya atau usaha menyimpang atau menyalahi aturan yang dilakukan oleh manusia saat memenuhi kebutuhannya baik yang bersifat naluri seperti keinginan untuk memiliki perhiasan (hubuttamaluk) maupun kebutuhan fisik seperti kebutuhan akan makan dan minum (hajatul ‘udhowiyah).
Kriminalitas dalam pandangan Islam adalah setiap perbuatan manusia yang bertentangan dengan aturan Islam seperti mencuri hak milik orang lain. Juga termasuk kriminal bagi seorang muslim meninggalkan shalat fardhu atau berbuka pada siang hari di bulan ramadhan tanpa alasan syar’i. Semua tindak kriminal harus mendapatkan sangsi, tentu saja setelah proses pembuktian di pengadilan.
Demokrasi berpotensi menjadikan anggota parlemen atas nama rakyat sebagai legislator pembuat UU. Negara demokrasi berdiri diatas prinsip sekulerisme. Sekulerisme mengakui keberadaan agama tapi tidak untuk menjadi sumber aturan bagi negara. Bagi demokrasi sekuler, ada agama ataupun tidak ada agama yang penting agama jangan dibawa-bawa saat proses legislasi. Di atas prinsip inilah anggota partai di parlemen dan pemerintah memproduksi perundangan dan aturan yang sebagian besarnya menjadi legitimasi bagi kriminalitas atau setidaknya menjadi pintu awal bagi terjadinya kriminalitas.
Perbankan ribawi telah menjadikan banyak orang frustasi karena terlilit hutang yang terus berlipat ganda. Riba telah menjadi sumber krisis ekonomi yang berdampak pada kemiskinan. Dan kemiskinan menjadi sebab tingginya angka kriminalitas.
Saat negara membolehkan beroperasinya tempat-tempat hiburan malam, dimana didalamnya terjadi percampuran pria wanita dengan pakaian seronok plus minuman beralkohol sesuai standar negara, menjadi awal tindak kriminalitas seperti peredaran narkoba, pelecehan seksual, tabrak maut karena pengaruh alkohol hingga pembunuhan dan perang antar preman.
Demokrasi dalam pemilu dari mulai tingkat kelurahan, kepala daerah hingga kepala negara berpotensi menjadi sumber kriminalitas suap, korupsi jabatan, perampokan kekayaan hak milik rakyat dan pembohongan publik.
Demikianlah negara demokrasi menjadi sumber atau setidaknya pintu awal terjadinya kriminalitas. Maka tidak heran jika lapas-lapas dan rutan-rutan di Indonesia penuh sesak dengan para pelaku kriminal. Dari mulai pelaku yang terpaksa karena kemiskinan hingga para pejabat kaya yang rakus. Dari mulai anak-anak hingga kakek-kakek pemerkosa. Dari bandar togel hingga ‘direktur’ perjudian dan prostitusi. Dari terdakwa hingga hakim dan jaksa. Dari nabi palsu hingga dukun santet. Dari penghisap lem hingga bandar narkoba.[]