Prabowo Sebut Jumlah Menteri Sedikit Bakal Otoriter, Jurnalis: Alasan Mengada-ada

Mediaumat.info – Alasan Presiden Terpilih Prabowo Subianto yang menyebut kabinetnya gemuk karena negara dengan menteri dan partai politik (parpol) berjumlah sedikit akan cenderung menjadi otoriter, dinilai sebagai alasan yang mengada-ada.

“Tentu saja alasan yang mengada-ada,” ujar Jurnalis Joko Prasetyo kepada mediaumat.info, Ahad (13/10/2024).

Kritik ini ia sampaikan karena berdasarkan bocoran tentang formasi kabinet yang bakal dibentuk, menteri Prabowo akan bertambah delapan jika dibanding rezim Jokowi sehingga total jadi 46 menteri.

Ia mengatakan, otoriter tidaknya suatu rezim, bukan lantaran sebab satu parpol dan jumlah menteri yang ramping. Tetapi lebih kepada sikap penguasa yang cenderung memaksakan kehendak dengan membuat berbagai perppu ketimbang taat kepada undang-undang (UU) yang berlaku.

“Contoh konkretnya adalah rezim Jokowi,” ungkap Om Joy, sapaan akrabnya, seraya menyebut meski parpol koalisi banyak dan kabinetnya bertambah gemuk rezim ini dikenal otoriter.

Adalah Prabowo Subianto di sela acara BNI Daily Investor di JCC, Senayan, Jakarta, Rabu (9/10/2024), mengaku bisa saja sebuah negara dijalankan hanya dengan 20 atau 24 orang menteri apabila negara itu menganut sistem otoriter yang terdiri dari satu partai.

“Kalau kita negara otoriter, ya kan hanya satu partai, ya bisa jalankan negara ini hanya dengan 20 menteri, 24 menteri,” ujar Ketua Umum Partai Gerindra itu.

Berdasarkan Wahyu

Dari contoh konkret tersebut, kata Om Joy lebih lanjut, maka dapat dipahami bahwa masalahnya bukan sekadar rezim itu otoriter atau tidak, tetapi UU yang diberlakukan itu berdasarkan wahyu dari Allah SWT atau buatan manusia.

Dengan kata lain, kalau UU berdasarkan wahyu dari Allah SWT, sudah pasti adilnya. Sementara hal seperti itu tak mungkin didapatkan dalam negara demokrasi ataupun negara otoriter. Tetapi hanya didapat dari negara yang berfungsi menerapkan aturan dari Allah SWT secara kaffah yakni khilafah.

“Oligarki, pemerintah, rakyat dan semuanya diatur pakai syariat Islam,” tegasnya berkenaan dengan sistem pemerintahan khilafah, yang berarti rezim tak bisa lagi otoriter karena wajib tunduk kepada syariat.

Pun demikian soal parpol koalisi maupun oposisi. Selama konsep tentang kenegaraan tetap berdasarkan syariat Islam, maka semua parpol wajib mendukungnya. Sebaliknya, ketika kebijakan khalifah (kepala negara khilafah) keluar dari koridor syariat, maka semua parpol, meski anggotanya ada yang menjadi pembantu khalifah (mu’awin), wajib mengkritisi.

“Wajib mengkritisi semua kebijakan khalifah yang tidak islami meskipun ada anggota parpolnya yang menjadi muawin,” pungkasnya. [] Zainul Krian

Dapatkan update berita terbaru melalui channel Whatsapp Mediaumat

Share artikel ini: