PP Penyediaan Kontrasepsi untuk Remaja, Halalkan Zina?

Mediaumat.info – Peraturan Pemerintah (PP) 28/2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang (UU) 17/2023 tentang Kesehatan yang mengatur pemberian alat kontrasepsi kepada remaja dan siswa dinilai berbahaya karena menghalalkan perzinaan di kalangan remaja.

“Kenapa kita katakan berbahaya? Ini berarti menghalalkan perzinaan di kalangan remaja,” ujar Pemimpin Redaksi Majalah Al-Waie Farid Wadjdi dalam Sorotan Dunia Islam, Rabu (7/8/2024) di Radio Dakta 107.0 MHz FM Bekasi.

Dengan kata lain, meski tak secara eksplisit menyebutkan kebolehan bagi siswa dan remaja untuk menggunakan kontrasepsi, terdapat pasal-pasal yang bisa dijadikan celah untuk kemudian membenarkan zina.

Adalah di antaranya Pasal 107 ayat (2) yang berbunyi ‘Setiap orang berhak memperoleh akses terhadap fasilitas pelayanan kesehatan dan pelayanan kesehatan reproduksi’, yang menurutnya, frasa ‘setiap orang’ dalam pasal tersebut bisa berarti mencakup anak-anak usia sekolah dan remaja.

“Di sini digunakan kata ‘setiap orang’. Kalau itu ‘setiap orang’ berarti itu mencakup anak-anak usia sekolah dan remaja,” tandasnya, yang bisa jadi justru akan memperbesar peluang legitimasi zina di kalangan remaja.

Memang, pemerintah sebagai pihak yang membuat PP ini membantah dengan mengatakan yang dibolehkan hanya yang sudah menikah. Tetapi kata Farid, tidak ada limitasi dimaksud di dalam PP yang terdiri dari 1172 pasal, ditambah penjelasannya, dengan total 172 halaman ini.

Ia menambahkan, ketika membahas suatu UU termasuk PP, bisa dipastikan yang dibicarakan adalah yang ada di dalam teks, bukan yang dijelaskan di luar teks.

Sebuah Kejahatan

Tidak seperti di dalam PP ini, kata Farid lebih lanjut, perzinaan seharusnya dijadikan sebagai suatu tindak kejahatan. “Seharusnya perzinaan itu dijadikan sebagai sebuah kejahatan,” tuturnya, sembari menegaskan, inilah paradigma yang wajib dibangun pemerintah sebelum merumuskan PP ini.

Dengan begitu, apa saja yang memberikan jalan terhadap kejahatan pun harus ditutup, termasuk seputar penggunaan kontrasepsi bagi siswa dan remaja, terlebih bagi mereka yang belum memiliki ikatan pernikahan secara sah.

Pun demikian dengan istilah pendidikan seks (education sex), seks aman (safe sex), di dalam PP tersebut juga dinilai berbahaya. Sebab, menurut Farid, ini adalah cara berpikir yang memang dibangun untuk meliberalkan Indonesia.

Makanya, ia menegaskan sudah semestinya negeri ini menjadikan syariat Islam sebagai pedoman. Apalagi dilihat dari jumlah penduduk Muslim yang mayoritas.

“Seharusnya sebagai negeri Muslim, kita menjadikan syariat Islam sebagai ukuran untuk membolehkan (atau tidak), bukan seperti sekarang (yang terkesan membolehkan seks bebas),” tuturnya kembali.

Sebutlah bab atau perkara haid bagi perempuan maupun tanda yang menunjukkan seorang laki-laki telah baligh, terdapat penjelasan tentang organ-organ reproduksi berikut tanggung jawab yang menyertai. Semisal persiapan hingga kewajiban untuk menikah.

“Kita tidak boleh menggunakan istilah sex education. Karena intinya nanti akan mengarah kepada liberalisasi di tengah-tengah remaja kita,” terangnya.

Untuk itu, setidaknya ada tiga pilar upaya yang harus dibangun di tengah masyarakat untuk menyelesaikan perkara zina ini. Pertama, menanamkan ketakwaan di masing-masing individu, bahwa di mana pun berada dan bagaimanapun kondisinya ada Allah SWT yang senantiasa mengawasi.

“Mereka harus takut kepada Allah SWT, baik itu ada undang-undang atau tidak, baik itu ada orang atau tidak, setiap kali mereka melakukan kemaksiatan itu akan dicatat oleh Allah,” ujarnya.

Kedua, hukum harus senantiasa ditegakkan. Pasalnya, tidak mungkin hanya mengandalkan ketakwaan individu yang notabene tak semua orang mampu melakukan.

“Undang-undang (hukum) itu akan membangun situasi atau kondisi di mana masyarakat itu takut melakukan kemaksiatan dan kemudian terdorong untuk melakukan ketakwaan,” jelasnya, yang hal ini berarti pula menunjukkan betapa pentingnya penerapan syariat Islam yang dengan tegas justru menghalangi atau paling tidak mempersempit kesempatan seseorang melakukan perbuatan maksiat, termasuk perzinaan.

Ketiga, menegakkan pilar amar ma’ruf nahi mungkar. “Kita tidak boleh abai, ketika ada undang-undang seperti ini kita tidak peduli, ketika ada seks bebas di tengah-tengah remaja kita tidak peduli,” pungkasnya. [] Zainul Krian

Dapatkan update berita terbaru melalui channel Whatsapp Mediaumat

Share artikel ini: