Mediaumat.id – Ketua LBH Pelita Umat Chandra Purna Irawan mengatakan potensi kriminalisasi terhadap pondok pesantren atas tuduhan pelecehan seksual sangat besar.
“Terkait seberapa besar potensi kriminalisasi terhadap pengurus pondok pesantren atas tuduhan pelecehan seksual jika dilihat dari regulasinya sangat besar,” ungkapnya dalam Perspektif PKAD: Potensi Kriminalisasi Pengasuh Pesantren atas Tuduhan Pelecehan Seksual, Jumat (13/1/2023) di kanal YouTube Pusat Kajian dan Analisis Data.
Menurut Chandra, bukan hanya pondok sebetulnya, tetapi siapa pun itu besar peluangnya untuk dikriminalkan menggunakan tuduhan pelecehan seksual. Selain pelecehan seksual, tuduhan pencabulan juga sangat besar.
Ia mencontohkan tuduhan pencabulan dalam praktik pernikahan perempuan umur 15 tahun. Dalam Islam, untuk menikah cukup dengan syarat perempuan tersebut sudah baligh dan memenuhi rukun pernikahan. Akan tetapi, hal tersebut dalam konteks negara disebut pencabulan terhadap anak. Pada pernikahan di bawah umur dianggap ada eksploitasi, relasi kuasa, dan perempuan belum bisa menentukan benar dan salah.
“Oleh karena itu, untuk mendudukkan perkara yang seperti ini, kita sebagai lawyer Muslim yang harus kita nilai dari sisi agama,” tegasnya.
Sedangkan untuk pelecehan seksual, Chandra menjelaskan, hal ini merupakan pasal karet. Pelecehan seksual sendiri sangat general maknanya. Adapun yang bisa dikategorikan pelecehan seksual misalnya, “Neng, Kamu kok hari ini kelihatan cantik ya?” Contoh lagi,”Neng, kayaknya kamu cocok jadi istri saya yang kedua.” Guyonan-guyonan yang sedikit bernada gender atau sedikit porno itu bisa disebut pelecehan.
“Oleh karena itu, untuk menutup celah kriminalisasi, para pimpinan pondok pesantren hendaknya segera memisahkan santri-santri dan guru-gurunya. Santri putra dengan santri putra serta guru putra, santri putri dengan santri putri dan guru putri juga. Supaya tidak ada interaksi,” bebernya.
Hancurkan Karakter
Salah satu usulan lembaga think tank (wadah pemikir) Amerika Serikat yang disebut Rand Corporation, kata Chandra, adalah menghancurkan karakter para tokoh agama yang vokal menyampaikan syariat. “Untuk menghancurkannya dengan cara melekatkan dengan tindakan-tindakan yang tidak bermoral seperti korupsi, zina, membunuh dan premanisme. Hal itu bertujuan supaya publik benci dan antipati kepada mereka,” ujarnya.
Untuk menghindari tindak kriminalisasi tersebut, Chandra memberikan tiga langkah yang bisa dilakukan.
Pertama, harus ada soliditas dari seluruh pondok pesantren dan di luar pondok pesantren untuk berkomitmen terhadap ajaran agamanya. “Misalnya, menikahi wanita di bawah umur versi negara tetapi sudah baligh dan memenuhi syarat dan rukunnya adalah sah. Itu meski digaungkan bahwa hal tersebut bukan kejahatan ataupun aib,” ungkapnya.
Kedua, menghilangkan guyonan-guyonan yang sedikit porno karena bisa menjadi persoalan nantinya.
Ketiga, memisahkan lelaki dan perempuan. “Saya berharap ke depan pondok pesantren sudah memisahkan santri-santrinya, guru-gurunya, yang perempuan diurus perempuan, yang laki-laki diurus laki-laki. Hal itu untuk menutup celah hal-hal yang demikian,” pungkasnya.[] Yupi UN