Polri Terkesan Bela Rezim, Siyasah Institute Imbau Begini

Mediaumat.id – Terkait sikap kepolisian Indonesia yang terkesan sangat membela rezim dalam beberapa kasus, Direktur Siyasah Institute Iwan Januar mengimbau, seharusnya aparat keamanan dan hukum itu ada untuk menegakkan keadilan, bukan kekuasaan dan pemilik kekuasaan.

“Mestinya aparat keamanan dan hukum itu ada untuk menegakkan keadilan, bukan kekuasaan dan pemilik kekuasaan,” tuturnya kepada Mediaumat.id, Kamis (17/2/2022).

Komentar itu ia sampaikan untuk menanggapi pernyataan Pegiat Hak Asasi Manusia (HAM) Haris Azhar yang juga menyinggung keberpihakan kepolisian kepada pihak rezim dalam beberapa kasus di Indonesia.

Di antaranya adalah insiden di Desa Wadas, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah yang baru-baru ini menjadi sorotan hampir di semua media.

Bahkan, lanjut Haris Azhar di kanal Youtube Refly Harun, pada Selasa, 15 Februari 2022, aksi menyerbu dengan ratusan aparat bersenjata lengkap berikut penangkapan warga serta aktivis, semakin menjadi label keberpihakan polisi pada rezim.

“Apa yang diperlihatkan kepolisian saat ini menunjukkan sikap melindungi rezim dan adanya hubungan kerja sama,” sambungnya.

Padahal di era SBY tidak demikian. “Pada zaman SBY, tentara yang banyak diakomodir. Nah, sekarang balik ke oposisi SBY, PDIP banyak mengakomodir polisi,” beber Haris yang juga menduga sedang terkadi mutual interest hari ini atau saling menjaga dan saling menguntungkan.

People Power

Menanggapi itu, Iwan khawatir, keadaan yang demikian justru bisa menambah distrust (ketidakpercayaan) publik kepada pemerintah, yang bukan tidak mungkin bisa menjadi bibit people power.

Karena memang, selain ia yakin Haris Azhar memiliki data lengkap terkait pernyataan tentang adanya mutual interest antara kepolisian dan rezim, publik juga bisa melihat anggaran kepolisian di era Jokowi yang terbilang besar dan tertinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

“Pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar Rp111,02 triliun bagi Kepolisian RI (Polri) dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2022,” ungkapnya.

Bahkan nilai tersebut meningkat 14,6% dibandingkan outlook APBN 2021 yang sebesar Rp96,88 triliun.

“Mungkin ini jawaban dari banyak pihak mengapa seringkali saat menghadapi rakyat, oposisi dan kelompok Islam yang kritis, hukum cepat ditegakkan,” tukasnya dengan membandingkan perlakuan terhadap Viktor Laiskodat, Deni Siregar dengan yang dialami Jumhur Hidayat, Syahganda Nainggolan. Terlebih yang dialami Habib Rizieq Shihab, Ustaz Maher almarhum, dan Edy Mulyadi.

Begitu pula dalam persoalan yang menempatkan rakyat versus kekuasaan dan pengusaha seperti kasus Wadas maupun kasus Kendeng.

Atau pun yang dialami Effendi Buhing, ketua komunitas adat Laman Kinipan, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah yang ditangkap aparat keamanan dari rumahnya karena diduga melakukan pencurian, pemaksaan dan perampasan, Agustus tahun lalu.

“Itu karena Effendi Buhing mengerahkan warga mempertahankan hutan mereka yang dikonversi jadi kebun sawit,” beber Iwan.

Lantas berkenaan dengan itu semua, Iwan menegaskan bahwa semua kejadian tersebut tidak akan terjadi di dalam sistem Islam. “Aparat keamanan itu ada untuk menjaga penegakkan syariat Islam dan pelayanan negara pada rakyat. Bukan untuk menjadi benteng penguasa,” pungkasnya. [] Zainul Krian

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Share artikel ini: