Polri Kurang Optimal Membedakan Freedom of Speech dan Hate Speech
Oleh: Pradipa Yoedhanegara
Sebuah pemberitaan media massa di Jawa-timur beredar di beberapa grup wa yang berisi tentang informasi penangkapan seorang penulis yang juga seorang aktivis LBH Pelita Umat bernama lengkap Ahmad Khozinuddin, yang dilakukan oleh tim patrol cyber bareskrim mabes polri di sebuah tempat di wilayah hukum jawa-timur.
Ahmad Khozinuddin ditangkap?! Teriak Banyak orang yang lantas menanyakan kebenaran dan validitas berita terkait penangkapan dan penahanannya tersebut kepada saya, padahal saya pribadi hanya mengenal Ahmad Khozinuddin dari banyak tulisan yang dikirimkan melalui grup-grup wa yang tersebar dengan begitu masive.
Ahamad Khozinuddin diduga telah melakukan tindak pidana HateSpeech, tapi entah pasal mana yang menjerat Ahmad Khozinuddin sehingga digunakannya delik pasal terkait dugaan hatespeech dan menyebarluaskan kebencian sebagai akibat memposting tulisan seorang penulis bernama Nasjo, padahal narasi dalam tulisan Nasjo menurut saya pribadi bukanlah merupakan HateSpeech, tapi lebih kepada FreeSpeech. Muncul pertanyaan dibenak saya, Apakah ditangkapnya Ahmad Khozinuddin sudah sesuai dengan Surat Edaran Kapolri No: SE/06/X/2015?!
Hate Speech (Ucapan Penghinaan/atau kebencian) adalah sebuah tindakan dalam komunikasi yang dilakukan oleh suatu individu atau kelompok dalam bentuk provokasi, hasutan, ataupun hinaan kepada individu atau kelompok yang lain dalam hal berbagai aspek seperti ras, warna kulit, etnis, gender, cacat, orientasi seksual,kewarganegaraan.
Selain itu “HateSpeech”, harus juga dilihat oleh penyidik polri; apakah bisa berdampak pada diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, dan atau konflik sosial yang akan terjadi akibat tidakan pidana hate speech. Kemudian pasal apa yang kemudian bisa digunakan terkait hate speech tersebut yang kebanyakan kasus hate speech, hanya digunakan sebagai alat untuk membungkam kritik terhadap para aktivis yang kontra terhadap rezim penguasa.
Hate Speech terkait kasus ahmad khozinuddin yang memposting tulisan Nasjo di laman facebooknya atau pun terkait tulisan-tulisan Nasjo, buat saya adalah hal yang bukan masuk dalam katagori hate speech tapi lebih kepada hak warga negara menyampaikan aspirasi yang di jamin dalam konstitusi dan kebebasan pers dialam demokrasi seperti saat ini.
Banyak pihak yang sepertinya alergi dengan kritik dan tulisan Nasjo yang banyak bercerita tentang Khilafah, serta kritik pedasnya terhadap pemerintah saat ini, yang kebijakannya banyak merugikan rakyat banyak; semisal kritik Nasjo soal maling jiwasraya dan terbaru maling asabri serta ott ketua kpu yang kedapatan menerima suap dari caleg partai berkuasa saat ini.
Tulisan Nasjo masih dalam kaidah dan norma yang sama sekali tidak melanggar hukum di era demokrasi, kecuali negeri ini tidak menganut paham demokrasi maka kritik seperti tulisan Nasjo bisa saja dianggap hate speech dan menyebarluaskan kebencian. Tapi karena negara ini sudah sepakat dengan sistem demokrasi, jadi sebaiknya biarkan saja tulisan-tulisan Nasjo tersebut beredar sebagai bahan diskursus publik.
Negara demokrasi tidak perlu alergi akan kritik maupun diskusi mengenai pemahaman khilafah, karena paham pancasila yang sudah kita anggap final dan selesai, mungkin dianggap oleh sebagian orang seperti Nasjo dan Ahmad Khozinuddin pengagum nasjo belum bisa memberi rasa keadilan bagi rakyat banyak.
Di era demokrasi digital, rakyat diseluruh negeri ini tidak boleh dibuat takut untuk berbicara diruang publik maupun di media sosial karena khawatir akan di kriminalisasi oleh pasal-pasal karet untuk membungkam demokrasi, yang sudah dengan susah payahnya kita perjuangkan dengan tetesan darah dan air mata para pahlawan reformasi yang gugur.
Polri sebagai salah satu pilar penjaga demokrasi (wasit), harus bisa bekerja secara optimal dan proporsional dalam menghadapi mana perbuatan pidana hate speech dan mana yang merupakan bagian dari Freedom Of Speech. Karena, “banyak hate speech yang dilontarkan oleh buzzer pendukung pemerintah”, terhadap gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang tidak ditindak oleh polri membuat kesan publik ada semacam perbedaan perlakuan di mata hukum antara Nasjo, Ahmad Khozinuddin dan para buzzer pendukung rezim saat ini.
Publik di era demokrasi digital yang begitu maju seperti saat ini, berharap kepada jajaran polri untuk dapat menilai dengan lebih bijak mana tulisan yang dianggap bernuansa hate speech dan mana yang masuk ke dalam bagian dari freedom of speech. Untuk itu sebaiknya polri juga melibatkan peran tokoh, ahli, pers dan lembaga lainnya untuk bisa menentukan mana perbuatan yang masuk ke dalam delik hate speech dan mana yang merupakan freedom of speech.
Sebagai pesan penutup, sebagai anak bangsa yang mencintai institusi polri, saya sangat berharap fungsi polri sebagai wasit harus dapat berlaku adil dan optimal dalam mentersangkakan para penyebar Hate Speech karena banyak penyebar kebencian yang dekat dengan kekuasaan hingga kini belum juga tersentuh hukum dan sepertinya sangat kebal dari jerat hukum ataupun delik hate speech. Semoga tragedi yang menimpa Ahmad Khozinuddin yang memposting tulisan Nasjo menjadi pelajaran dalam demokrasi di negeri tercinta ini.
Waallahul Muafiq illa AqwaMithoriq,
Wassallamuallaikum Wr, Wb
Jakarta, 13 Januari 2020