Politisi Kok Kutu Loncat, Hadeeh…
Oleh: Mahfud Abdullah (Indonesia Change)
Demokrasi sering dikatakan akan melahirkan kekuasaan mayoritas. Melalui pemilu, yang akan menjadi penguasa adalah yang mendapatkan suara terbanyak. Itu artinya, kekuasaan yang didapatkan pemerintah adalah kekuasaan mayoritas sehingga kebijakan yang dibuat pemerintah bisa diklaim mewakili mayoritas rakyat.
Demokrasi melahirkan tradisi politik kutu loncat. Istilah politisi nggragas(rakus) dan politisi kutu loncat sudah menjadi hal lazim dalam panggung politik. Sikap inkonsisten para elite politik kerap mewarnai perjalanan dan dinamika politik nasional. Mereka berpetualang, berpindah partai dari satu partai ke partai lain. Sebagian karena faktor visi politik, sebagian lagi karena dorongan pragmatisme politik.
Bahkan tidak sedikit elite politik yang justru melupakan partai yang mengantarkannya menuju singgasana kekuasaan untuk berpindah ke perahu politik lain yang diprediksi lebih menjanjikan di masa yang akan datang. Umumnya, perahu politik yang menjadi sandaran elite yang demikian adalah parpol yang dekat dengan penguasa dan wibawanya sedang berada di atas angin.
Maka umumnya sasaran para politikus kutu loncat itu diarahkan pada partai yang lagi nge-pop/nge-hit. Maklum, partai-partai tersebut elektabilitasnya kian kokoh di panggung kekuasaan dan dalam banyak hal lebih menggiurkan dibanding partai lain. Partai-partai tersebut seakan kebanjiran kader baru yang barangkali tidak diprediksi sebelumnya.
Banyak kepala daerah yang kemudian menjadi petinggi-petinggi partai tersebut di daerah masing-masing. Para kepala daerah yang hijrah ke partai yang lagi naik daun sudah barang tentu merasa lebih nyaman karena berada dalam perahu politik yang punya basis konstituen mayoritas.
yang justru harus menelan pil pahit adalah parpol yang ditinggalkan oleh para elite yang berkarakter politik semacam itu. Parpol yang telah ditinggalkan jelas akan meradang. Apalagi tidak sedikit di antara parpol yang ditinggalkan itu merupakan perahu politik pertama yang telah membesarkan nama dan karier politik yang bersangkutan. Namun, ketika tahta kekuasaan telah berada dalam genggaman, seolah mereka lupa diri dan mulai memasang bargaining position.
Fenomena politik yang demikian sesungguhnya juga kian menyingkapkan tabir politik demokrasi bahwa sesungguhnya yang menjadi tujuan politik hanyalah kekuasaan semata. Sepanjang dipandang akan mampu memberikan kontribusi positif dalam rangka peningkatan karir politik, maka segala daya dan upaya akan dilakukan, termasuk dengan menerabas etika dan moral sekalipun. Lalu, yang menjadi pertanyaan kemudian adalah sejauh mana sesungguhnya komitmen para politisi dengan karakter semacam itu dalam rangka memperjuangkan kepentingan rakyat?
Ataukah karakter yang sama juga akan menimpa harapan publik. Jawaban yang lebih relevan adalah bahwa perubahan karakter elite politik yang mempertontonkan praktik kutu loncat umumnya akan mengalami nasib yang sama dengan upaya perjuangan nasib publik.
Kalaupun kemudian dalam berbagai kesempatan, kampanye pembelaan kepentingan rakyat selalu diagung-agungkan, kita yakin hal itu tidak lebih dari sebuah upaya meraih simpati publik dalam rangka memadukan kekuatan parpol dengan basis massa yang lebih menjanjikan.
Jadi, mengharap dari sistem demokrasi lahir politisi yang peduli kesejahteraan rakyat adalah sebuah ilusi besar. Ketimpangan ekonomi di berbagai belahan dunia, termasuk di negeri ini, membuktikan hal itu. Oleh karena itu, mestinya kita tidak ragu untuk meninggalkan demokrasi yang telah tampak jelas kebusukannya, dan berjuang dengan sungguh-sungguh untuk tegaknya syariah.[]