Politik “Terjal” Para Difabel Mental

Oleh: Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si (Koordinator LENTERA)

Orang gila sedang jadi fenomena. Di tengah makin panasnya geliat politik nasional menuju 2019, KPU mengeluarkan kebijakan tentang kebolehan orang gila untuk memiliki hak suara. Namun sebelum hari-H terlaksana, nampaknya ada politik terjal yang harus dihadapi oleh para difabel mental ini. Mengingat, kebijakan atas mereka yang terasa tidak proporsional. Bahkan cenderung dipaksakan demi sekedar mendulang suara. Terlebih, warga negara yang memiliki hak pilih, dalam hal ini mereka yang berakal sehat, kian apatis dan apolitis. Sebagaimana ditunjukkan dengan adanya “kemenangan” oleh jumlah suara golput setiap kali ajang pemilihan pemimpin dalam rentang satu dasawarsa terakhir. Karena itu, ada baiknya kita sejenak mencermati hal ini.

Diberitakan, salah satu calon legislatif (caleg) dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Kabupaten Mojokerto, Pitung Hariono, dibacok seorang difabel mental (orang gila) (kumparan.com, 29/11/2018). Penderita difabel mental tersebut diketahui bernama Mas’ud (30), warga Dusun Sambiroto, Desa Sambiroto, Kecamatan Sooko, Kabupaten Mojokerto yang mengalami gangguan jiwa sejak sekitar 10 tahun lalu.

Kejadian tersebut bermula saat petugas dari Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Jawa Timur, Kota dan Kabupaten Mojokerto, datang ke rumah Mas’ud. Petugas datang untuk melakukan proyek pelatihan penanganan orang gila. Namun, saat Mas’ud diminta untuk mandi, ia malah memberontak dan mengamuk. Sejumlah petugas langsung lari. Sementara Pitung, yang juga datang ke rumah Mas’ud, mendapat bacokan di lengan kirinya. Mas’ud membacok Pitung saat petugas lengah.

Yang lebih miris lagi di Subang, Jawa Barat. Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) Subang menyiapkan Kartu Identitas bagi orang gila. Kepala Disdukcapil Subang Dadang Kurnianudin mengatakan, sesuai aturan terkait pelaksanaan Pemilu bahwa orang gila memiliki hak memilih, maka pihaknya akan menyiapkan KTP-e. KPU Subang pun segera melakukan pendataan terhadap orang yang mengalami gangguan kejiwaan atau tuna grahita ini. Mereka akan diikut sertakan dalam daftar pemilih pada Pemilihan Presiden dan Legislatif April 2019 mendatang. Komisioner KPU Suryaman mengatakan, pendataan ini sesuai intruksi KPU pusat dan amanat Pasal 198 UU No. 7 Tahun 2017. Atas surat KPU itu, jelas Suryaman, pihaknya segera mengintruksikan Panitia Pemilihan tingkat Kecamatan atau PPK, untuk melakukan pendataan pemilih tuna grahita yang sudah memenuhi syarat sebagai pemilih (tintahijau.com, 29/11/2018).

Tak hanya itu, sepanjang tahun 2017, orang gila juga tak kalah fenomenal. Setiap kali terjadi persekusi ustadz/ulama saat itu, hampir semua pelaku setelah tertangkap diklaim sebagai “orang gila”. Hingga pasal, kasus tersebut tak dapat dilanjutkan karena pelaku adalah orang yang rusak akal. Namun demikian, hal ini semestinya menjadi logika implikatif yang mampu menjawab bahwa sebenarnya orang gila memang tidak selayaknya diberi hak pilih sebagaimana orang yang sehat akal. Karena kasus persekusi ustadz/ulama ini menunjukkan bahwa orang gila sebagai pelaku ternyata tak dapat dikenai perlakuan hukum. Lantas, mengapa mereka dipaksa harus memiliki hak pilih?

Seharusnya kita semua harus senantiasa sadar dan terjaga, kehidupan sekularistik-liberal yang dilahirkan dari sistem kapitalisme semakin tak nampak solutif. Hidup hanya pragmatis, faktais. Akibatnya, tak sedikit orang yang semakin apatis, apalagi apolitis. Menyerah pada kenyataan dan membiarkan hidup mengalir bagai air. Tiada dinamika. Mereka beku, berkubang deru hati tanpa mampu melakukan perubahan kendati mereka sangat mendambakannya. Mereka sudah sampai pada taraf putus asa terhadap tata kehidupan yang tengah tegak saat ini.

Namun ketika pada gilirannya ada pihak-pihak yang mencoba menyeru tentang perubahan, berdakwah kembali kepada aturan Pencipta, rindu pada aroma kehidupan bersama Rasul ﷺ; bahkan arus hijrah menjadi hamba Allah sejati kian menggelora, bukti manusia ingin kembali dekat dalam kasih sayang Rabb-nya. Mirisnya, mereka yang seperti ini malah mendadak disebut radikal, beragam aksinya diisukan ditunggangi sana-sini; hingga konten-konten syariah dan Khilafah dikriminalisasi, di-framing negatif dan di-bully habis-habisan oleh media-media pemuja kebebasan berekspresi.

Jika demikian, apakah lantas dengan menjadi orang gila itu lebih mulia dan bisa menjadi solusi bagi kehidupan yang tak kalah gila ini? Bukankah kita ini milik Allah? Bumi, langit, dan alam semesta ini juga milik Allah. Lalu, mengapa harus alergi dengan aturan Allah?

Coba kita renungkan sabda Rasul ﷺ tentang aturan Islam terhadap orang gila:

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ: عَنِ الْمَجْنُوْنِ حَتَّى يَفِيْقَ، وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ.

“Telah diangkat pena dari tiga golongan: dari orang gila sampai ia sadar, dari orang tidur hingga ia bangun, dan dari anak kecil hingga ia baligh.” (Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir 3514], Sunan at-Tirmidzi II/102/693.)

Sungguh, hanya Islam sajalah yang memberikan aturan sesuai fitrah manusia. Orang gila telah rusak akalnya, sementara orang waras adalah orang yang sehat akalnya. Orang gila dimuliakan dalam Islam dengan cara tidak diberi beban hukum syara’, bukannya malah dipaksa untuk dibebani hukum sebagaimana orang yang sehat akal. Karenanya, bagaimana pun, orang gila tak mampu berlaku atau beraktivitas selayaknya orang waras. Bagaimana mungkin orang gila mampu memahami apa dan siapa yang dipilihnya? Apalagi ini dalam urusan seserius memilih pemimpin. Bagaimana pula orang gila akan mampu mempertanggungjawabkan apa yang dipilihnya? Akalnya saja tak dapat digunakan. Sekali lagi, sungguh, menyamakan perlakuan terhadap orang gila dengan orang waras justru suatu kedzholiman yang tak berkesudahan.[]

Share artikel ini: