Politik Identitas Tanpa Religiositas Jadi Kekuasaan yang Menindas
Mediaumat.id – Apabila politik identitas, yang menjadi salah satu bahasan penting dalam lembaga perpolitikan di Indonesia, tak menyertakan aspek religiositas, dinilai bakal menjadikan kekuasaan yang digunakan untuk menindas kelompok dengan identitas lain.
“Politik identitas tanpa religiositas, menjadikan kekuasaan sebagai basis legalitas guna ‘menindas’ identitas tertentu,” ujar Pakar Hukum Pidana Dr. Abdul Chair Ramadhan kepada Mediaumat.id, Selasa (13/12/2022).
Sebutlah keberlakuan positivisme hukum dilandasi politik legalitas Napoleon Bonaparte yang dikenal dengan Penal Code-nya (baca: KUHP). Kala itu, kata Abdul Chair, diadakan guna menjadikan suatu negara berparadigma sekularistik dengan berhukum legalistik.
Sekadar diketahui, positivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan bahwa ilmu alam merupakan satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktivitas yang berkenaan dengan metafisika.
Artinya, positivisme tidak mengenal adanya spekulasi dan ilmu gaib. Tetapi positivisme dianggap bisa memberikan sebuah kunci pencapaian hidup manusia dan dikatakan merupakan satu-satunya formasi sosial yang benar-benar bisa dipercaya kehandalan dan akurasinya dalam kehidupan dan keberadaan masyarakat.
“Di mulai dari ekspedisi Bonaparte menjauhkan bangsa Mesir dari Kekhilafahan Usmaniah Turki, identitas kebangsaan (pribumi) Mesir digunakan bersamaan dengan politik pencitraan,” ulasnya.
Selanjutnya, sambung Abdul Chair, Mesir pun tertipu, dan Prancis pun menjajah Mesir.
Begitu pula Kemal Ataturk yang mengadopsi politik legalitas dan politik identitas, warisan Kaisar Prancis yang menguasai Benua Eropa pada tahun 1803 sampai 1815 yang Abdul Chair sebut sebagai ‘Bapak Politik Identitas’ itu, ujung-ujungnya identitas kekhalifahan berbasiskan legalitas syariat pun dilenyapkan.
Namun, menurut Abdul Chair, saat ini epistemologi Islam telah memperlihatkan kebangkitannya. Akibatnya, pemikiran dari eksponen atau tokoh terkemuka Bonaparte tersebut kini mengalami cacat pikir yang berujung paranoid.
Makanya, ia tak heran, di saat bersamaan gerakan islamofobia pun dilancarkan untuk menghadang. “Oleh karena itu politik anti-Islam (islamofobia) dilancarkan guna menghadang (kebangkitan) politik Islam,” paparnya.
Untuk dipahami, politik Islam tidak untuk menjadikan kekuasaan sebagai tujuan. Tetapi, meminjam istilah dari podcast Refly Harun, Abdul Chair menyebutkan bahwa politik Islam ‘keren cadas’ dan juga cerdas.
Lebih dari itu, politik Islam berorientasi pada totalitas utilitas, berikut universalitas ajaran Islam yang pasti memberikan inspirasi. “Pada akhirnya memotivasi diri agar turut berkontribusi mewujudkan utilitas bagi seluruh insan tanpa membedakan identitas atau SARA,” pungkasnya.[] Zainul Krian