Politik Identitas Pecah Belah Umat? Begini Tanggapan Forkei
Mediaumat.id – Direktur Forum Kebijakan Ekonomi (FORKEI) Agus Kiswantono menyampaikan tiga catatan kritis terkait maraknya narasi yang menyebut politik identitas memecah belah umat.
“Perlu dipahami bersama, yang namanya identitas ini adalah suatu hal yang biasa. Kapan pun, di mana pun, itu sesuatu yang biasa untuk dimunculkan,” ujarnya menyebut poin pertama, dalam acara Kabar Petang: Politik Identitas Memecah Belah Umat? melalui kanal YouTube Khilafah News, Kamis (21/7/2022).
Kedua, untuk memasuki tahun investasi politik sekarang ini, maka bagaimanapun itu akan panen nanti pada saatnya. “Kalau kita kalkulasi secara rasional faktual kita harus legowo bahwa Indonesia mayoritas Muslim dengan kemampuan 277 juta ini adalah mayoritas Muslim,” ungkapnya.
Ia menjelaskan kalau melihat secara mindset dari pandangan sudut pandang multi perspektif apa pun, maka kekuatan itu adalah kekuatan yang identik dengan Islam. “Ini enggak bisa dipungkiri. Kalaupun dipungkiri enggak bisa, karena kan ini adalah bagian dari faktual yang ada bahwa Islam mayoritas di Indonesia,” jelasnya.
Ia pertanyakan terkait dengan komunitas komunal yang besar ini. “Mau dibawa ke arah mana pada saat terjadi kontestasi yang itu kaitannya dengan 2024?” tanyanya.
Menurutnya, ini berarti ada konstelasi yang akan diperebutkan adalah mayoritas, karena akan menentukan kursi yang itu ada kaitannya dengan kontestasi nanti ke depannya.
“Jadi memang agak sangat aneh kalau kita masih memperbincangkan terkait dengan sisi framing negatif terkait dengan identitas. Bukankah mulai dari zaman Belanda dulu kita jadi pecah dengan identitas dan disatukan juga dengan identitas?” paparnya.
Ketiga, terkait dengan yang namanya identitas ini pasti akan muncul magnetisasi terkait dengan komunalnya. “Kalau kita bilang magnetisasi maka itu akan menghasilkan pusaran bukan pinggiran,” paparnya.
“Kalau pusaran, maka kekuatan itu akan mampu melakukan turbulensi. Turbulensi itu berarti ketidakpastian atau kita masuk ke guncangan-goncangan kalau kita tidak mampu untuk mengoptimalkan magnetisasi terkait dengan komunal ini,” paparnya.
Ia menilai, umat Islam adalah umat yang mayoritas punya satu prinsip-prinsip, meskipun sekarang ini prinsipnya kalau sudah masuk ke tahun politik ini sering kali ada yang pragmatis, ada yang masih keukeuh dengan apa yang diyakini secara kekuatan keimanan.
“Saya khawatir di sini identitas ini terkait dengan keimanan yang mereka permasalahkan. Di satu sisi umat Islam ini dijadikan rebutan dan di sisi yang lain umat Islam seakan-akan dikanalisasi dengan dimarginalkan secara eksistensinya. Sehingga ke depan kalau seperti ini enggak fair,” nilainya.
Menurutnya, umat Islam diperlukan hanya untuk meraih kontestasinya, tapi di sisi lain yang lain justru umat Islam itu yang berbasis keimanan, keyakinan, Islam kaffah dengan tata runtut aturannya. “Itu menjadi ambyar kalau dipisahkan dari identitas keimanan dan keyakinannya,” tuturnya.
Agus mengungkapkan bahwa umat Islam di dalam politik Eropa dan Amerika sendiri, 2022 pertengahan ini sudah mulai meminimalkan adanya islamofobia. “Sehingga di Eropa maupun di Amerika itu sudah muncul jangan sampai ada islamofobia,” ungkapnya.
Ia merasa agak aneh kalau ini justru yang berkiblat secara perpolitikan di Amerika dan Eropa kemudian masih mempermasalahkan islamofobia. “Jadi makanya patron di Indonesia ini seperti apa?” tanyanya.
Menurutnya, kalau patronnya terkait dengan mayoritas, harusnya mayoritas ini menjadi bagian, simpul, pusaran, yang memang harusnya diakomodir secara potensi positifnya. “Karena energi positif itu tidak akan terlepas dari nilai, maupun ilmu dan amal yang ada kaitannya dengan apa yang ada di Islam,” terangnya.
“Jadi kenapa harus dipermasalahkan? Apanya yang salah terkait Islam itu sebagai identitas? Di satu sisi Islam mampu menjadi satu kekuatan tersendiri,” lanjutnya.
Ia memberikan contoh potensi suara, potensi infak, sedekah atau zakat. “Kalau dikalkulasi menteri keuangan, keuangan itu kan merupakan satu pusaran aliran darah di sisi operasional pemerintah yang di Indonesia itu diakui. Jadi potensi zakat umat Islam itu wah fantastis luar biasa,” jelasnya.
Menurutnya, selain suara umat Islam diperlukan manakala ada kontestasi, aset, kinerja, produktivitas, kalau itu dilihat dari multi perspektif yang positif, maka topangan utama saat ini ya Islam.
“Sekarang ini muncul islamophobia yang menempatkan Islam itu ada kekhawatiran, ada ketakutan bahwa Islam akan melakukan manuver-manuver yang negatif,” ucapnya.
Menurutnya, seharusnya menempatkan Islam itu jangan dalam sudut-sudut atau perspektif negatif. Karena ini belum terbukti. Mulai dari fase kemerdekaan, yang mendukung adalah umat Islam. Kerajaan-kerajaan Islam yang mampu mendukung Indonesia menjadi satu fundamental kerangka negara, itu juga dari kerajaan Islam.
“Jadi, ahistoris kalau mengatakan bahwa ada sisi negatif terkait dengan keimanan dan keyakinan atau syariat Islam yang itu diimplementasikan dalam bentuk ketatanegaraan yang ada di Indonesia,” pungkasnya.[] Raras