Polemik Pemetaan Ancaman Negara

Oleh: Hadi Sasongko (Direktur POROS)

Isu potensi pecahnya perang di Asia Pasifik menjadi buah bibir bagi sebagian warganet. Dikabarkan AS telah menyiagakan pasukannya di wilayah ini. Indonesia kita harapkan tidak masuk dalam skenario dan dominasi kapitalis Barat maupun timur.

Umat butuh kejelasan siapa ancaman sejati di bumi nusantara ini. Setiap warga negara memang punya kewajiban untuk membela negaranya. Hanya saja, bila negara ini harus dibela, dari ancaman siapa? Pasalnya, sejauh ini pemetaan atas ancaman terhadap negara ini belum beranjak dari kerangka lama, yakni yang disebut ekstrem kiri yang datang dari paham komunisme dan ekstrem kanan yang datang dari apa yang mereka sebut “Islam radikal”. Ironisnya, neoliberalisme dan neoimperialisme, yang nyata-nyata telah merusak negara ini, tidak dianggap sebagai ancaman.

Kesalahan dalam memetakan ancaman atau musuh negara ini berakibat fatal. Teman bisa dijadikan musuh, sementara musuh sebenarnya malah dijadikan teman. Umat Islam, misalnya, terutama yang berjuang untuk menerapkan syariah Islam secara kâffah, kerap dianggap sebagai musuh negara setelah sebelumnya dilabeli dengan cap “radikal”, “anti Pancasila”, “anti NKRI”, atau bahkan “teroris”. Sebaliknya, Barat dan negara-negara kafir penjajah dijadikan kawan. Padahal hingga saat ini mereka terus menjajah negara dan bangsa ini dalam wujud penjajahan non-fisik, terutama di bidang ekonomi seperti lewat investasi asing, utang luar negeri, dll.

Terkait bela negara, saat ini Pemerintah sendiri belum memberikan teladan yang baik. Bahkan sebaliknya, Pemerintah seperti membiarkan negeri ini berada dalam ancaman dan penjajahan pihak asing. Hal ini menjadi ironi bahkan kontradiksi. Di satu sisi rakyat disuruh untuk bela negara, tetapi di sisi lain Pemerintah malah menggadaikan negara ini kepada pihak asing. Pemerintah sering bicara nasionalisme, tetapi Pemerintah malah membiarkan upaya disintegrasi Papua, misalnya. Pemerintah mengklaim anti penjajahan, tetapi Pemerintah pula yang secara sengaja mengundang campur tangan penjajah, terutama melalui berbagai investasi asing dan utang luar negeri yang terus bertumpuk. Akibatnya, kekayaan alam kita banyak dikuasai pihak asing. Di bidang minyak dan gas (migas), misalnya, ada 60 kontraktor asing. Mereka telah menguasai hampir 90% migas. Semua itu terjadi lantaran kebijakan liberalisasi di sektor tambang dan migas oleh Pemerintah.

Di bidang perkebunan, Pemerintah juga membiarkan lahan perkebunan karet dan sawit dikuasai asing. Di Sumut, misalnya, menurut Sekretaris Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Sumut, luas kebun seperti kebun sawit—dengan total 1,2 juta hektar—yang telah dikuasai asing diperkirakan sudah di atas 50%.
Pemerintah juga membiarkan sejumlah pulau di Indonesia dikuasai asing. Tak kurang dari enam pulau di Indonesia sudah dikuasai oleh asing, di antaranya: Anambas, Wakatobi, Raja Ampat, Pulau Cubadak, Tanjung Keramat dan Karimun Jawa (Travelesia.co, 11/2014).

Pendek kata, hampir semua bidang dikuasai asing. Di sisi lain, karena utang luar negeri, Pemerintah sering tunduk begitu saja pada kemauan pihak asing. Jika sudah begini, apa artinya bela negara, sementara negara ini sudah “digadaikan” oleh Pemerintah kepada pihak asing dan Pemerintah pun sering tak berdaya menghadapi tekanan asing?[]

Share artikel ini: