Pola Kasus FS Serupai KM 50, Tutupi Fakta Sebenarnya

 Pola Kasus FS Serupai KM 50, Tutupi Fakta Sebenarnya

Mediaumat.id – Membandingkan pola yang digunakan dalam kasus Ferdy Sambo (FS) sebelum terbongkar dengan Km 50, Advokat Aziz Yanuar menyampaikan, keduanya menggunakan modus serupa yakni untuk menutupi fakta yang sebenarnya terjadi. “FS menggunakan template, modus, pola yang sama untuk menutupi peristiwa di rumah dinasnya,” ujarnya kepada Mediaumat.id, Jumat (12/8/2022).

Dengan kata lain, sambungnya, kasus FS terinspirasi dan menggunakan pola berita palsu tentang tembak-menembak dalam kasus Km 50 untuk menutupi fakta yang terjadi. Sehingga nantinya bisa jadi terdakwa terkait pembunuhan Brigadir J juga dinyatakan tidak dapat dijatuhi pidana karena alasan pembenaran dan pemaaf.

Sebagaimana diwartakan, tindakan pembunuhan terhadap enam laskar FPI seperti yang dilakukan Briptu Fikri dan Ipda Yusmin ketika itu, dinilai majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan masuk ke dalam kategori pembelaan terpaksa dan pembelaan terpaksa yang melampaui batas.

Sekadar diketahui, kata Aziz, terkait kasus Km 50, FS saat menjabat Kadiv Propam Polri yang telah menurunkan 30 orang tim untuk mengusut kasus tersebut, merasa berhasil melumpuhkan hukum.

Namun sialnya, dalam peristiwa yang berkaitan dengan dirinya, lupa bahwa pola yang digunakan dalam kasus pembunuhan enam laskar FPI waktu itu adalah modus rekayasa yang telah disepakati bersama oleh para pelaku dan penguasa politik ketika itu.

Gagal Total

Maknanya, dalam kasus FS memang tidak ada kepentingan politik penguasa yang perlu dilindungi sebagaimana Km 50. Sehingga pola dengan menciptakan skenario palsu tersebut, kata Aziz, gagal total.

Penting dipahami pula, sambungnya, sejak awal kasus Km 50 terkategori tindak kejahatan kemanusiaan, pelanggaran HAM berat, dan termasuk extra judicial killing atau kejahatan kemanusian, juga layak memperoleh keadilan hukum.

Tetapi sayang, kata Aziz kembali, dikarenakan kasus Km 50 termasuk tindak pidana pembunuhan dengan motif politik, untuk shock therapy ke FPI, khususnya ke HRS kala itu, maka semua lembaga dan institusi negara yang menurut amanat konstitusi harusnya membongkar kejahatan kemanusian, malah kompak menutup-nutupi peristiwa pembantaian enam orang syuhada dimaksud.

“Seharusnya, dengan mandat konstitusi cukup untuk membongkar siapa-siapa yang bertanggung jawab terhadap peristiwa extra judicial killing tersebut,” lugasnya.

Sehingga, sebagaimana pula kasus FS yang menurut Aziz gampang diselesaikan, justru pada kasus Km 50 menunjukkan politik hipokrisi yang luar biasa dari para penyelenggara negara.

“Harusnya kasus Km 50 gampang untuk diselesaikan. Dan sudah seharusnya sesuai amanat konstitusi untuk diselesaikan,” tegasnya, seraya menambahkan bahwa kasus ini menjadi ujian terkait siapa sesungguhnya yang berpegang dan menjalankan amanat, atau malah berkhianat terhadap konstitusi.

Bangun Citra Kepolisian

Namun begitu, ia memandang, perkara hukum yang melibatkan FS tetap memiliki kepentingan, yaitu membangun kembali citra positif kepolisian dalam hal penegakkan hukum setelah sekian lama hancur berantakan.

Sebutlah di awal peristiwa, hingga akhirnya terbongkar, ada oknum-oknum yang memang bermental jahat, tukang bikin skenario palsu dan penyebar hoaks melalui jabatan resmi juru bicara misalnya, ramai-ramai telah memviralkan fake fact atau skenario palsu tentang tembak-menembak.

“Dikira oleh oknum-oknum tukang rekayasa tersebut bakal berhasil menutupi kejahatan yang sesungguhnya,” tandasnya.

Sehingga, penindakan terhadap oknum-oknum jahat dalam kasus FS tak cukup terhadap orang-orang yang berada di TKP saja. “Seharusnya terhadap oknum-oknum yang sejak pertama mengumumkan, memviralkan dan ngoceh di berbagai media bahwa peristiwa di rumah dinas FS adalah peristiwa tembak menembak juga harus dicopot dari jabatan,” harapnya.

Selanjutnya, mereka bisa dikenakan Pasal 14 dan 15 UU Nomor 1 tahun 1946 tentang kabar bohong yang menimbulkan keonaran di tengah-tengah publik.

Lantaran itu ia pun mengingatkan para oknum dimaksud. “Jangan enak saja terus-terus menyebarkan kebohongan dengan jabatan yang diembannya,” cetusnya.

Sebabnya ibarat dua mata pisau, publik sudah banyak menyadari bahwa kondisi penegakan hukum saat ini memang tumpul ke atas namun tajam ke bawah. “Gesit dan gerak cepat serta ampuh terhadap oposisi, namun letoi dan tak berdaya terhadap para pendukung kekuasaan,” urainya.

Terakhir ia menekankan, kasus FS memang sengaja diramaikan untuk membangun citra positif hukum saat ini yang seolah-olah masih baik-baik saja. “Inilah hal yang paling tidak bermoral dalam dunia hukum dan politik kekuasaan tersebut,” pungkasnya.[] Zainul Krian

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *