Oleh: Aminudin Syuhadak (Direktur LANSKAP)
Keinginan umat untuk revolusi sistem semakin besar. Ini mengingat sistem Kapitalisme disadari oleh umat telah gagal. Para kapitalis juga gagal menemukan obat mujarab yang menyembuhkan. Pasalnya, sistem Kapitalisme secara inheren mengandung sebab-sebab kegagalannya, sekaligus bisa melahirkan krisis demi krisis. Jadi, akar penyakitnya ada pada dasar-dasar sistem Kapitalisme itu sendiri, sementara mereka hanya mengobati gejala dan dampak krisisnya saja. Hal itu karena mereka membatasi pandangannya hanya pada dua sistem: Sosialisme-Komunisme dan Kapitalisme. Mereka membandingkan keduanya. Lalu mereka menyimpulkan bahwa Sistem Kapitalisme masih lebih baik daripada Sosialisme-Komunisme yang telah runtuh, dan tidak ada alternatif lain.
Politik ekonomi adalah tujuan yang ingin dicapai oleh hukum-hukum yang mengatur berbagai urusan manusia. Politik ekonomi Islam adalah jaminan pemenuhan seluruh kebutuhan pokok bagi setiap individu secara menyeluruh, dan pemberian peluang kepada individu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pelengkap menurut kemampuan-nya, dengan memandangnya sebagai individu yang hidup dalam masyarakat tertentu yang memiliki cara hidup yang khas. Politik ekonomi Islam tidak lain merupakan solusi bagi masalah-masalah mendasar bagi setiap individu dengan memandangnya sebagai manusia yang hidup sesuai dengan pola interaksi tertentu, serta memberikan peluang kepadanya untuk meningkatkan taraf hidupnya dan mewujudkan kemakmuran bagi dirinya di dalam cara hidup yang khas.
Ketika Islam mensyariatkan hukum-hukum perekonomian bagi manusia, maka itu ditujukan untuk individu. Pada saat yang sama, Islam menjamin hak hidup dan mewujudkan kemakmuran. Islam menetapkan hal itu direalisasikan di dalam masyarakat tertentu yang memiliki cara hidup yang khas. Oleh karena itu, syariah memberikan hukum-hukum yang menjadi mekanisme yang menjamin terwujudnya pemuasan seluruh kebutuhan pokok secara menyeluruh bagi setiap individu rakyat. Mekanisme itu sebagai berikut:
– Islam mewajibkan laki-laki yang mampu untuk bekerja guna memenuhi kebutuhan pokok bagi dirinya dan orang yang wajib dia nafkahi (QS 67: 15).
– Islam mewajibkan para ayah untuk menanggung nafkah. Jika ayah tidak mampu maka kewajiban beralih kepada ahli warisnya (QS 2: 233).
– Jika tidak ada orang yang wajib menanggung nafkah mereka, Islam mewajibkannya atas Baitul Mal. Dengan mekanisme ini, Islam telah memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok—yaitu kebutuhan pangan, papan dan sandang—bagi setiap individu, perindividu.
Di samping itu, Islam telah mendorong umat untuk bekerjasama di antara mereka. Rasulullah saw. telah bersabda:
أَيُّمَا أَهْلُ عَرْصَةٍ أَصْبَحَ فِيْهِمْ اِمْرُؤٌ جَائِعٌ فَقَدْ بَرِئَتْ مِنْهُمْ ذِمَّةُ اللهِ وَرَسُوْلِهِ
Siapapun penduduk negeri yang bangun pagi, sementara di tengah-tengah mereka terdapat orang yang kelaparan, maka jaminan Allah dan Rasul-Nya telah terlepas dari mereka.
Kemudian Islam mendorong individu itu bekerja dan menikmati kekayaan yang dia peroleh (QS 5: 88; 67: 15). Hal itu untuk merealisasikan kemajuan ekonomi di negeri tersebut, untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok bagi tiap-tiap individu, serta memberi peluang individu itu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pelengkapnya.
Untuk itu, Islam tidak memperumit cara yang digunakan manusia untuk mendapatkan harta itu. Islam menetapkannya dengan sangat sederhana, yakni dengan membatasi sebab-sebab kepemilikan dan membatasi akad-akad dalam pertukaran kepemilikan. Islam membiarkan manusia untuk berkreasi dalam hal cara dan sarana yang digunakan untuk memperoleh harta; Islam tidak ikut campur dalam teknik produksi harta.[]